Berbagai macam persyaratan pendaftaran masuk universitas di Australia selama ini sudah Haryan lewati. Banyak kursus yang dia lalui. Termasuk kursus bahasa Inggris untuk test IELTS—uji coba kemampuan yang diselenggarakan IDP Education Australia—dan test TOEFL—ujian kemampuan berbahasa Inggris yang diperlukan untuk mendaftar masuk ke universitas negara-negara lain di dunia.
Saking pusingnya dengan belajar, Haryan sampai sering ketiduran di meja belajarnya sampai pagi.
Tahu-tahu, pagi ini Bi Darmi mengagetkan Haryan ke sekian kalinya di meja belajar. "Mas Harry, jangan lupa hari ini perpisahan!"
Mata Haryan terbuka dan tubuhnya refleks bangkit dari posisi tidur nyamannya di atas meja. Saat melirik jam, ternyata masih jam lima. Bi Darmi sudah belajar dari pengalaman juga.
Haryan pun bersiap-siap dengan kondisi tubuh dan tenaga yang tersisa. Ternyata benar kata papanya, sebelum lulus Haryan akan dijejali pembelajaran, kursus, dan berbagai macam aturan baru untuk masuk ke universitas luar negeri.
Papa Haryan ingin memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak tunggalnya kali ini. Masa bebas Haryan akan berakhir.
* * *
Mobil keluarga Haryan sampai di parkiran sekolah. Kini, kedua orang tua Haryan ikut dan langsung hadir, tanpa diwakili oleh Bi Darmi atau Pak Seno. Semua mata langsung tertuju ke mereka sekarang, Haryan menjadi malu. Dia merasa sudah seperti selebriti.
"Haryan emang anaknya Pak Hartanto, fix!" Suara itu terdengar di antara keributan gedung Jurusan Akuntansi.
"Gile, emak serasa kakak si Haryan!"
"Cakep banget emaknya sumpah!"
"Bokapnya juga, ganteng banget."
Haryan cepat-cepat menutup telinga ketika mendengar perdapat mereka tentang orang tuanya itu. Pasti sehabis itu, mereka akan membahas penampilan Haryan juga. Namun, maaf saja, penampilan Haryan hari ini cukup memukau. Dia mengenakan kemeja putih dibaluti tuxedo hitam, rambutnya dipangkas rapi, dan dia juga sudah rajin mandi. Kalau sampai ada yang mengatakan bahwa dia seperti anak kolong jembatan lagi, pasti ada yang salah dengan penglihatannya.
Tiba-tiba Tisya datang dari gedung yang penuh keributan perempuan itu, langsung menyapa Haryan dan kedua orang tuanya. Cewek dengan kebaya berwarna biru muda itu disambut dengan baik di keluarga Haryan.
Mereka segera menempati kursi para undangan di pertengahan tarup. Haryan duduk di urutan ketiga kursi dari pojok kanan. Dua kursi kosong di sebelahnya langsung diduduki oleh Baza yang membawa adik bungsunya dalam pangkuan dan Tisya.
"Ortu lo di mana Ja?" tanya Haryan ketika cowok itu duduk di sebelahnya, sambil mengajak Dzikavra—adik Baza—untuk bertos ria.
"Oh, ada di belakang."
"Ortu lo, Tis?" Pertanyaan itu sudah terlanjur keluar dari mulut Haryan, membuatnya refleks menutup mulut. "Eh, sorry, nggak ada niatan."
Tisya menaik turunkan alisnya. "Biasa, enggak dateng. Kakak gue juga setengah mati diajakin, nanti dateng pas sesi foto aja."
Baza menepuk pundak Tisya untuk memberikan kekuatan. "Nggak pa-pa, ya, ada kita, kok."
Tisya mengacungkan dua jempolnya. "Santai aja respons kalian, nggak usah nganggep gue anak paling menyedihkan gitu!" protesnya.
"Iya-iya."
"Kak Tisya cantik banget," puji Dzikavra tiba-tiba, membuat rasa percaya diri Tisya semakin meningkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian Haryan
Fiksi Remaja(WATTYS WINNER 2021 Kategori YOUNG ADULT) (#4 Fiksiremaja 24/5/24) Tersasar ke Jurusan Otomotif di SMK membuat Haryan berbaur hingga gaya pakaiannya disebut seperti anak kolong jembatan. Hal itu membuat banyak cewek yang menolak Haryan, tetapi saat...