Pagi-pagi buta Haryan sudah menunggu tepat di depan perpustakaan. Sebenarnya dia salah bila datang jam segini. Sudah tahu perpustakaan dibuka saat jam pembelajaran dimulai, malah datang terlalu pagi, tetapi mau bagaimana lagi?
Haryan kelewat panik setelah sadar bahwa dia belum membawa pulang buku hariannya sejak sesi tidur di perpustakaan disusul sesi pembotakan.
Berulang kali dia berbolak-balik dari jendela depan ke jendela belakang perpustakaan. Dia juga berulang kali memperhatikan rak paling ujung ruangan yang terlihat dari jendela depan.
Pikiran negatif Haryan sudah menggerogoti tubuhnya. Haryan berpikir, bagaimana jika ada yang membaca buku hariannya? Bagaimana jika buku itu hilang? Bagaimana kalau ternyata buku itu ditemukan orang? Habis Haryan.
"Haryan?" Suara Baza menyentak cowok yang kali ini kepalanya botak itu. Baza berdiri di hadapan Haryan yang tampak ketakutan. "Lo kenapa? Mikirin apa sampai ekspresi lo begitu?" tanya Baza, sangat peka dengan keadaan sahabatnya itu, pasti si Haryan sedang berpikir negatif.
Haryan mengatur napasnya sebelum berkata, "Ada yang mau gue omongin."
"Apaan?"
"Ada pokoknya. Tapi apa ya? Gue ampe lupa sendiri." Haryan menggaruk kepalanya. "Duh, apa ya?"
Baza menautkan alis, melihat Haryan bertingkah seperti itu juga membuatnya tak kalah heran. Dia pun menepuk bahu Haryan dan merangkul. "Dah ah, ayo ke kelas! Lo ngapain pagi-pagi begini udah dateng duluan terus kayak nyariin sesuatu di perpus?"
Haryan terdiam sejenak, membiarkan dirinya diarahkan Baza menuju ke kelas. Dia sedang memikirkan kira-kira apa dampak yang akan menimpa diri, bila menceritakan bahwa selama ini dia memiliki buku harian, dan kemarin tak sengaja dibawanya ke sekolah sampai sekarang lupa diambil lagi? Haryan kebingungan dengan pemikirannya sendiri.
Jikalau dia mengatakan yang sebenarnya justru akan menyusahkan Baza, maka Haryan lebih baik berbohong. "Nggak, gue kemarin lupa minjem novel fantasi yang mau gue baca."
Baza manggut-manggut. "Oh gitu, toh. Ya sudah, nanti aja pas istirahat, kan, bisa. Lo mau ngomongin apa tadi?"
"Nah, itu yang gue lupain," ujar Haryan sambil menggaruk kepala lagi. Dia suka heran dengan pikirannya sendiri. Terkadang hal tidak penting bisa masuk dan dia pikirkan sampai berjam-jam, sedangkan hal penting yang harus disampaikan malah terlupa dengan mudah.
Namun, buku harian juga tak kalah penting daripada sekadar memberitahu Baza sesuatu yang dia lupa. "Duh, ah, pusing!"
Baza tertawa kecil. "Otak lo dijernihkan dulu, gih. Lo cari hiburan sana!" katanya sambil mendorong Haryan agar cepat masuk ke kelas.
* * *
Haryan masuk ke dalam perpustakaan dengan tergesa setelah bel masuk berdering. Dia izin ke guru yang mengajar hari ini dengan alasan ingin ke toilet. Buru-buru dia ke rak yang berada di ujung perpustakaan. "Mana ya buku gue?" tanyanya pada diri sendiri.
Dia mencarinya ke tiap-tiap cela buku. "Duh, mana ya?" Haryan mengusap kepalanya, kebiasaan saat memiliki rambut panjang masih tak bisa terlepas. "Gue lupa lagi kemarin di bagian mananya rak ini, duh!" Haryan berbolak-balik mencari dari sisi kanan rak ke sisi kiri. Tak lupa, dia juga menarik kursi agar bisa mencari bukunya di bagian rak paling atas.
"Di mana ya?" Haryan menutup mata dan bersandar pada rak buku. Mencoba berpikir keras dan mengingat-mengingat kejadian kemarin. "Kok gue lupa, sih?"
Haryan menarik napas, lalu membuangnya perlahan untuk mengatur pikirannya lagi.
"Ah lupa!" keluhya, lalu lanjut mencari lagi hingga sepuluh menit berlalu.
Kesal, Haryan akhirnya menyerah dan langsung bertanya pada guru penjaga perpustakaan. "Bu, kemarin rak di bagian ujung dibersihkan, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian Haryan
Roman pour Adolescents(WATTYS WINNER 2021 Kategori YOUNG ADULT) (#4 Fiksiremaja 24/5/24) Tersasar ke Jurusan Otomotif di SMK membuat Haryan berbaur hingga gaya pakaiannya disebut seperti anak kolong jembatan. Hal itu membuat banyak cewek yang menolak Haryan, tetapi saat...