02 - Tak Tahan Jurusan

18.1K 3.1K 189
                                    

"Haryan," sapa Baza sambil memegang pundak Haryan yang terdiam menatap gedung dominasi merah hitam di hadapan.

Itu gedung Jurusan Otomotif yang akan menjadi perjalanan dan nuansa sekolah Haryan mulai saat ini. Kelasnya pasti terletak di antara lantai satu sampai tiga. Yang jelas, ada sebuah lab jurusan di sebelahnya. Persis seperti bengkel motor elite dan berkelas. Haryan pasti juga akan sering ke sana.

"Nanti kalau ada apa-apa, lapor gue aja. Tiap pagi gue bakal temenin lo di sana," kata Baza sambil mengguncang bahu Haryan agar tersadar dari lamunan.

"Gue agak takut, eh." Haryan akhirnya berbicara, masih menatap gedung paling sepi dari yang lain itu.

Di saat semua jurusan sudah ramai dikunjungi siswa-siswi angkatan baru, hanya gedung itu yang masih sepi seolah hanya ada sedikit penghuni. Padahal banyak yang belum datang sama sekali.

Bel masuk berdering menandakan seluruh siswa harus berkumpul di lapangan. Masa pengenalan lingkungan sekolah akan dimulai.

Tiba-tiba parkiran mendadak ramai dengan segerombolan cowok yang seragamnya cukup berantakan. Kemejanya keluar dari celana dan dasi terhambur ke mana-mana. Ada yang di kepala, di dada, di pundak, dan ada yang digulung-gulung dalam genggaman.

Itu seluruh siswa angkatan baru Jurusan Otomotif. Serempak sampai di parkiran dan sepertinya juga serempak datang terlambat bersama.

Habislah Haryan.

"SEMUANYA CEPAT KUMPUL!" titah salah satu anggota OSIS dengan suara lantang sampai ke parkiran.

Seluruh siswa Otomotif itu mendapat teguran dari guru paling disiplin yang sudah berdiri di batas parkiran dan lapangan. Beliau menyuruh semua siswa Otomotif itu jalan dengan posisi kaki jongkok sampai ke lapangan. Sementara siswa lain sudah mulai berbaris.

Dari sini Haryan terpisah dengan Baza. Dia harus baris di jurusan Otomotif. Terlihat hanya ada delapan orang yang berbaris untuk kelas X alias kelas 1 di jurusan itu. Sisanya terkena hukuman telak. Mereka mendapat peringatan dan terpaksa berdiri di tengah lapangan.

Haryan yang melihatnya hanya tak bisa membayangkan dirinya nanti.

Dia sepertinya benar-benar salah jurusan.

* * *

Haryan pintar-pintar mengambil tempat untuk berbaris di ujung, tepat di sebelah Jurusan Multimedia. Kebetulan Baza di sana, selisih satu orang di samping kanan Haryan.


Haryan pun meminta Baza bertukar barisan dengan siswa Multimedia di sebelah kirinya dan kini mereka berdiri bersampingan.

"Gue salah jurusan kayaknya."

Baza mengigit bibirnya. "Jadi lo mau gimana?"

"Nggak tau eh, bingung juga," kata Haryan sambil tetap pada posisi istirahat di tempat selagi kakak kelas di depan menyampaikan peraturan masa pengenalan sekolah. "Duh, apa minta tolong bokap aja kali, ya?"

"Boleh, sih, tapi itu terserah lo bakal gimana. Hati-hati aja anak yang terlantar dari dua jurusan kayak lo bakal nggak terima." Baza berusaha untuk tetap fokus mendengar arahan di depan dan keluhan Haryan dalam waktu bersamaan.

"Diliat dari sikap anak-anaknya, gue kayaknya bakal jadi anak yang di-bully atau terkucilkan di sana," jelas Haryan, makin dengan raut wajah khawatir.

"Coba dulu seminggu, gimana?" tawar Baza bertepatan dengan teriakan OSIS pada seluruh siswa baru Otomotif.

"Seluruh siswa Otomotif masuk ke aula, duduk paling ujung dekat jendela. Jangan saling dorong, masuk dengan tertib. Maju, jalan!" Haryan terpaksa berjalan mengikuti orang-orang di depannya dan meninggalkan Baza.

Berbeda jurusan dengan sahabat memang sedikit merumitkan.

Masalahnya Haryan tak yakin seterusnya akan baik-baik saja.

* * *

"Heh, anak pendiam!" Haryan menoleh ragu-ragu ke siswa yang duduk di sebelahnya. "Lo anak mana? Kok asing, ya?"

Haryan tertegun. Anak mana ya dia? Aduh, dia lupa mendadak. "Hmmm." Akhirnya Haryan berdeham terlalu lama.

Siswa di samping Haryan ini misuh tiba-tiba, membuatnya terbelalak.

Haryan menyengir, lalu berbicara, "Gue... dari SMP Cipta Karsa."

"Bukan dari SMP Adibasra, ya? Healah, pantes nggak kenal," kata cowok di sebelah Haryan, lalu kembali menaikkan satu kakinya di kursi. "Nama lo siapa? Name tag, mana?"

Haryan tegang. "Nggak kebawa."

"Oh, sama." Cowok di sebelah Haryan ini mengganti posisi duduknya menjadi bersila di kursi. Dia terdiam sebentar, lalu menoleh lagi. "Nama lo 'Nggak Kebawa'?"

"Enggak, maksudnya, itu, name tag gue nggak kebawa."

"Oh, kalau gitu bilanglah nama lo siapa." Cowok di samping Haryan ini berlagak seperti singa jagoan yang bertemu dengan hamster kesasar.

"Nama gue Haryan," balas Haryan dengan senyuman simpul.

"Hah? Harian?"

"Har-Yan. Dijeda, bukan Harian."

"Gue panggil lo Heri aja gimana?" Cowok di sebelah Haryan itu mengacak rambutnya. "Gue Tirot."

"Pffft." Haryan hampir saja tertawa. Meskipun kadang dia terlihat ketakutan, tapi selera humornya juga terbilang rendah. "Tirot?"

"Iya Tirot. Ngapa lo ketawa, hah?" Tirot memajukan diri, membuat Haryan terdiam dan menciut nyalinya.

Haryan menggaruk tengkuknya. "Gue ngetawain nama gue yang lo panggil Heri. Mending lo panggil gue Ryan."

"Nggak mau, maunya Heri. Titik."

Mau tak mau Haryan menerimanya dengan lapang dada. Dia kembali fokus ke pemateri yang sedang berbicara di depan aula.

Sepertinya masa pengenalan sekolahnya tak akan seindah di film yang diangkat dari sebuah novel remaja. Karena satu jurusan isinya laki-laki semua!

Duh, hidup Haryan di masa putih abu-abu sepertinya memang akan hambar.

Hambar!

Terkapar!

Haryan merindukan buku hariannya di rumah.

__Buku Harian Haryan__

Buku Harian HaryanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang