27 - Sebuah Perkara

7.3K 1.6K 244
                                    

Hari pertama masuk sekolah telah tiba. Tak jarang siswa terlihat memasuki kawasan sekolah dengan wajah lemas. Hari pertama memang terasa berat untuk mereka yang belum menikmati libur sekolahnya dengan efektif. Sama seperti Haryan, walau liburannya sudah dipenuhi dengan kegiatan OSIS, rasanya dia belum puas bermalas-malasan di rumah.

Yah, walaupun pada dasarnya, bermalas-malasan sudah menjadi sembilan puluh persen bagian kehidupannya.

Dengan kamera yang selalu disampirkan dari leher hingga ke bagian dadanya, Haryan menyimak perintah dan arahan dari ketua panitia pelaksanaan masa pengenalan sekolah, Zafri.

Akan ada banyak kegiatan kali ini. Yang pasti, mereka tidak akan menikmati masa hari pertama yang penuh jam kosong bersama teman kelas.

Jono berdiri di samping Haryan tiba-tiba. "Gue ketinggalan apa aja, Yan?"

Haryan kontan menoleh ke cowok yang sedikit gemuk itu. "Baru arahannya si Zafri doang. Kita disuruh siap-siap aja kayak arahan kemarin. Kalau ada yang butuh bantuan, kita siap. Jangan didiamkan aja adek kelasnya."

Jono manggut-manggut. "Oke, makasih infonya."

Haryan balas dengan mengangguk. Tiba-tiba dia terpikirkan dengan kelas Jono. Cowok berambut lurus itu dari kelas XII Multimedia 2, ada kemungkinan dia satu kelas dengan Candra.

"No, gue mau tanya."

"Bentar, gue nyimak dulu."

Haryan berdecak samar.

Semuanya pun bubar ketika arahan dan perintah Zafri telah disampaikan, kembali ke tugas masing-masing. Seperti biasa, Haryan selalu menjadi orang yang mengabadikan momen sebuah kegiatan.

Dia berkeliling ke sekitar panitia untuk mengambil gambar. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Jono yang masih mempersiapkan sound system.

"Tadi lo mau tanya apa?" tanya Jono sambil merapikan kabel-kabel sound yang berantakan.

"Oh, itu." Haryan harus memastikan bahwa yang dia pertanyakan ini tidak akan mengundang curiga. "Lo satu kelas sama Candra?"

Jono tersenyum miring. "Oh, si tukang pamer itu. Iya gue sekelas sama dia. Tiga tahun ketemu terus di satu kelas. Ampe gedeg gue," jelasnya yang berujung curhat.

Haryan tertawa kecil. Seingatnya, memang saat di SMP Candra itu selalu dibilang sebagai anak yang penuh gaya. Yah, menurutnya, wajar saja. Toh, si Candra ini adalah anak yang berprestasi, banyak skill, dan banyak relasi. Disebut sebagai siswa teladan dan yang paling penting, dia adalah orang yang selalu optimis.

"Emang kalau di kelas dia ngapain aja?" tanya Haryan.

"Banyak pokoknya. Cari perhatian, sok-sokan jadi kayak seksi kebersihan, sok-sokan absenin orang, sok-sokan memimpin, padahal dia wakil. Jadi kayak diambil semua sama dia peran di kelas. Nggak tau nanti dia bakal jadi apalagi di kelas, palingan ketua." Jono terlihat kesal membahas Candra.

"Gue jengkel juga sama dia. Kadang apa yang dia omongin itu nggak bisa dipegang. Bilangnya A, akhirnya B. Bilangnya tinggi banget, sampai kita percaya sama dia. Nggak taunya juga, hasilnya beda. Mending ya kalau nggak sengaja, ini disengajain malah. Kayak bilang nggak ngerjain PR semalaman, sampai kita ngikutin dia, tau-taunya dia kerjakan diam-diam," sambung Jono yang terdengar nyaring sampai mengalihkan perhatian Zafri yang sedang mengatur laptop.

"Eh, nyindir siapa lo?"

"Lo!" Jono menunjuk Zafri sambil tertawa. "Bisa-bisanya dia kesinggung. Wah, jangan-jangan Zafri gitu juga nih, anaknya."

"Enggak juga, sih. Kesinggung dikit, iya. Kalau soal kerjakan PR, gue terang-terangan bilang gue emang belajar. Nggak gue tutup-tutupin," balas Zafri, "tapi gue kesinggung ya, tolong!"

Buku Harian HaryanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang