Pementasan telah selesai, lampu utama ruangan tiba-tiba menyala, membuat mata Haryan terasa sangat silau setelah cukup lama melihat dalam gelap.
Seluruh anggota teater yang terlibat dalam pementasan ini bangkit dan berkumpul di tengah panggung. Mereka mulai perkenalan satu per satu, termasuk Rangga, sang ketua Gang Apollo yang menjadi penata lampu sekaligus asisten sutradara.
Haryan manggut-manggut memerhatikan pemain dan orang belakang panggung. Seandainya ada teater di sekolahnya, mungkin dia akan bergabung, tetapi dia tahu diri. Ikut satu organisasi saja nyaris membuatnya keteteran, apalagi ikut dua. Konon katanya, teater tidak hanya sekadar ekskul, ada organisasinya juga.
Setelah berpamitan untuk berjumpa lagi dengan pementasan tahun depan, seluruh penonton akhirnya dapat bangkit dari duduknya dan bubar. Namun, banyak juga dari mereka yang langsung menghampiri para aktor untuk berfoto bersama.
Haryan mengajak Kevin untuk mengirim foto saat Rilda kepergok tadi. "Minta fotonya Kev. Kirim lewat WA aja. Ni nomor gue."
Kevin manggut-manggut sambil memainkan ponselnya. "Sorry ya, Kak. Gue tadi heran aja liat lo sama dia saling tatap lama. Bahkan, sampai cowok di samping cewek itu negur pun, dia nggak kedistrak sama sekali. Tetep kukuh natap lo, seolah terkunci."
Haryan mengernyit. Candra ternyata juga sadar dengan tatapan Rilda dan dirinya. "Lah, masa?"
"Iya, si Rizwan yang duduk di sebelah lo pun kaget. Akhirnya gue foto deh, siapa tahu, kan, lo butuh banget bukti kenapa kalian saling tatap sampe kayak terkunci gitu. Kalau misalnya gue dikasih kesempatan menduga secara fantasi, gue bakal bilang, mungkin lo sama Rilda lagi terlempar ke suatu dunia yang ngebuat kalian saling kekunci," jelas Kevin sangat rinci disertai dengan dugaan penuh imajinasi.
Haryan tertawa di tempat. "Lo ada-ada aja, dah, heran. Emang gitu kali ya konten kreator? Ada aja idenya lewat-lewat."
Kevin mengiakan, "Iya bro. Kita, tuh, kayak udah ditakdirkan buat berpikir. Btw, bentar lagi kita mau bikin film pendek baru, lo nonton ya, Kak," balasnya sambil kembali melihat layar ponsel. "Eh, udah terkirim, Kak."
"Iya, gue nggak pernah absen, kok, nonton film pendek di channel Youtube kalian." Haryan juga kembali melirik ke layar ponselnya. "Oke, makasih fotonya. Jumpa lagi nanti!"
Keduanya pun berpisah. Kevin kembali ke Gang Apollo, sedangkan Haryan menghampiri Tisya yang sedang sibuk mengusap wajahnya sehabis menangis akibat menyaksikan akhir pementasan dengan saksama.
"Nangis lo?"
Tisya mengusap wajahnya sambil mengeluarkan tisu dari saku celana. "Ih, nggak suka ya sad ending. Udah-udah sama hidup yang redup, pementasan juga ending-nya malah ikutan redup. Nggak tenang gue jadinya," katanya sambil mengusapkan tisu ke wajah, "untung gue sedia tisu ke mana-mana."
Haryan hanya menghela napas mendengar keluhan sahabatnya itu. Tisya memang suka membawa tisu ke mana-mana, karena terkadang wajahnya suka berkeringat berlebih. Setelah puas mendrama, Tisya mengajak Haryan untuk menghampiri Baza di ujung ruangan.
"BAJAAA!" teriakan Tisya membuat langkah sang pemilik nama terhenti. Baru saja cowok beralis tebal itu melangkahkan kaki keluar dari aula balai desa. Dia menatap Tisya penuh tanya atas teriakan menggelegarnya.
Haryan hanya dapat pura-pura menunduk ketika suara Tisya itu tidak dapat dikontrol di ruangan yang serba menggema ini, berharap tidak ada siswa dari SMK Wardhana Adibasra yang melihatnya.
Mengingat sekolahnya, Haryan tiba-tiba menjadi ingat ke Rilda lagi, dia lantas melempar pandangan ke sekeliling dan menemukan cewek itu sedang berjalan ke pintu utama keluar ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian Haryan
Jugendliteratur(WATTYS WINNER 2021 Kategori YOUNG ADULT) (#4 Fiksiremaja 24/5/24) Tersasar ke Jurusan Otomotif di SMK membuat Haryan berbaur hingga gaya pakaiannya disebut seperti anak kolong jembatan. Hal itu membuat banyak cewek yang menolak Haryan, tetapi saat...