29 - Kesempatan Tak Tepat

6K 1.5K 120
                                    

Pintu kamar Haryan terbuka dengan cepat hingga membentur dinding, menghasilkan bunyi yang membuat sang pemilik bangun dari tidurnya.

Tisya datang dengan beringas menarik selimut Haryan yang sudah memakai piama. Tepat di belakangnya, ada Bi Darmi yang mengikutinya, berulang kali mencoba mencegah Tisya untuk tidak membangunkan Haryan dari tidur pulasnya.

"Haryan!" Tisya berteriak.

Haryan merasa tak peduli, lantas menarik selimutnya lagi dan tertidur.

"Aduh Mba Tisya, Mas Harry jangan dibangunin. Kecapekan dia dari tadi siang, ngikutin dua seminar," kata Bi Darmi sambil terus menarik Tisya untuk menjauh.

"Haryan, Haryan, Haryan!" Tisya keras kepala. Dia kini malah menarik tangan Haryan agar cowok itu terkejut dan membuka matanya. "Temenin gue, ayo!"

Haryan berdeham kesal. "Minta ditemenin Pak Seno aja sana," gumamnya sambil menghempas Tisya dengan mudah.

"Temenin gue, Yan! Baru habis magrib juga, udah tidur aja. Nggak boleh begitu." Tisya mengacak rambut Haryan. "Ayo, ayo!"

"Astaga, Mba Tisya, jangan begitu."

"Haryan!" Tisya kali ini memanggil Haryan tepat di depan telinganya. "Temenin gue belanja sembako di rukonya Rilda."

Sontak mata Haryan terbuka, memerah karena dia baru tertidur sebentar sehabis pulang dari dua seminar tentang bisnis dan ekonomi. "Beneran lo?"

"Iyalah. Masa enggak. Ayo!"

"Besok aja gimana?" Haryan baru saja mau merebahkan diri, tetapi ditarik oleh Tisya lagi.

Haryan pun menghela napas kasar, mulai marah, tapi teringat bahwa sekarang sedang ada Bi Darmi. Tidak mungkin dia akan membalas teriakan Tisya, sedangkan Bi Darmi adalah wanita yang risi bila mendapat teriakan keras. Apalagi, jangkauan teriakan Haryan tidak main-main semenjak bergabung di Jurusan Otomotif.

"Cuma berlaku malam ini," imbuh Tisya dengan senyuman miring yang mengancam.

Haryan berdecak dan bangkit dari kasurnya. "Ya sudah, ayo!" Dia melirik ke Bi Darmi. "Nggak pa-pa Bi, tenang aja," kata Haryan sambil mengucak matanya dan menguap.

Kemudian, dia menatap Tisya. "Lo tunggu di depan, dah! Gue siap-siap dulu."

Sambil berjalan keluar dengan senyuman semangat, Tisya pun memilih untuk menunggu Haryan di ruang tengah. Dia sempat bertemu dengan kedua orang tua Haryan yang baru pulang kerja.

"Haryan mana?" tanya Hartanto sembari membuka jas hitam yang dikenakannya, dibantu oleh beberapa pelayan. "Sudah pulang belum dia dari seminar?"

Tisya mengangguk dengan sedikit kagum melihat Hartanto yang sangat harum itu, padahal baru saja membuka jas. "Sudah Om, tidur dia tadi."

Hartanto menganga. "Loh, langsung tidur?" Pertanyaannya itu tampak tak perlu dijawab ketika dia sudah melangkah naik ke lantai dua untuk menemui Haryan.

Baru setengah anak tangga dinaiki, Hartanto sudah bertemu dengan anak tunggalnya itu. "Mau kemana pakai jaket begini?"

"Temenin Tisya, Yah." Bukan salim lagi, di keluarga Haryan kalau mau berpamitan pergi cukup langsung berpelukan saja. "Sebentar aja, kok."

"Spesifiknya, temenin Tisya ke mana?" Hartanto tahu anaknya tak pandai berbohong.

"Mau temenin Tisya beli sembako di ruko pasar," jawab Haryan sambil kembali menuruni anak tangga.

Cukup ke papa dan mamanya saja, dia tak boleh berbohong. Dia sudah dididik sedari kecil untuk mengatakan apa yang benar dan akan terjadi. Itulah sebabnya jika Haryan berbohong, dia malah akan terlihat aneh dan dicurigai.

Buku Harian HaryanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang