38 - Ungkapan Hati

5.7K 1.4K 98
                                    

"Karena gue nggak suka didiemin." Tisya terkejut ketika Haryan juga menjawab pertanyaan di detik yang sama, bersamaan. Dia tersenyum. "Dan sampai sekarang, terbukti cuma lo doang yang nggak pernah diemin gue."

Haryan menunduk. "Karena lo yang maksa," balasnya.

"Kalau gue paksa lo untuk jadi pasangan gue seumur hidup mau nggak?" tanya Tisya blak-blakan yang semakin membuat Haryan kaku di tempat.

Cukup lama cowok itu terdiam hingga akhirnya dia menjawab, "Ayolah, gas! Tapi nggak usah mukul-mukul. Toh, si Rilda juga udah sama Candra, daripada gue potek lama-lama."

"What the?!" Sekarang gantian Tisya yang terkejut. Dia kembali memukul bahu Haryan, padahal baru saja dibilangi. "Ih, kok segampang itu, sih?"

Haryan makin kebingungan. "Lo maunya apa, sih?"

Air mata Tisya kembali meluruh. Dia mengucak matanya dan menarik napas dalam. "Lo, ah, kebiasaan. Nolak dulu kek, biar gue ada usahanya gitu kayak di Wattpad-Wattpad. Kok lo gampang banget gitu, main terima aja. Bisa jadi, kan, kalau gue cuma mau main-main aja. Padahal lo tau gue sering main-main. Ih, kenapa, sih, lo sebaik itu Yan sama gue? Segampang itu percaya sama orang? Kan, gue jadi baper."

Haryan mau tidak mau tertawa. "Lo mau ngajak main kayak gimana, sih, ah? Diiyain malah marahin kayak nggak mau, giliran nggak diiyain malah ngejar-ngejar sampai ngemis. Ternyata bener ya kaya Baja, nebak maunya cewek itu susah. Apalagi cewek yang kayak lo. Pusing gue."

Yang ditertawakan malah semakin menangis. "Gue, tuh, apa ya Yan? Nggak tau, deh." Dia bersandar pada bahu Haryan. "Gue ngerasa lo baik banget gitu, udah kayak saudara gue juga. Di sisi lain gue mau sama lo, tapi juga nggak mau sama lo. Seakan gue nggak deserve buat dapetin cowok kayak lo, gitu. Kita, kan, juga udah deket dari kecil. Sayang, lah, gue sama lo. Gue maunya lo dapet yang lebih, gitu. Apalagi gue ini, kan, orangnya suka main-main. Gue juga nggak mau lo kena imbasnya," jelasnya sedikit bebelit karena mengatur napas.

"Lo suka sama siapa, sih, memangnya?" Haryan akhirnya bertanya. 

Tisya jadi menggaruk kepala. "Nggak tau, hati gue banyak banget isinya."

"Jadi lo sebenernya ngomong kayak tadi, nawarin kayak tadi, cuma buat nanya, main-main, atau serius, nih? Gue mau dijadiin korban ke berapa?" Gantian Haryan yang mewawancara. "Gue anaknya nggak gampang jatuh sama orang, tapi kalau udah jatuh, susah naiknya. Di keputusan, boleh gue plin-plan, tapi beda lagi kalau udah bahas perasaan."

"Tiga-tiganya, sih." Tisya menegakkan diri. "Tapi gue nggak tega, deh, kalau lo jadi bagian dari selingkuhan juga. Atau, jadi pacar gue bahkan. Lo deserve better. Lo nggak boleh masuk kriteria korban selingkuhan gue ataupun pacar nanti. Ah, entahlah, gue nggak ngerti sama diri sendiri."

"Oh, Astaghfirullah, Tisya." Seketika Haryan paham dengan kemauan Tisya. "Is OK Tis. Gue tau perasaan lo gimana. Lo pasti ketakutan, kan, kalau gue pergi juga dari lo, gitu? Makanya lo tawarin gue untuk jadi pasangan biar seenggaknya lo punya satu orang yang temenin lo?"

Mendengar itu, tangis Tisya kembali pecah. Dia langsung memeluk Haryan. Tingkah lakunya itu membuat Haryan semakin paham dengan kemauan sahabatnya.

"Iya, deh, kayaknya. Nggak tau juga. Gue bahkan nggak ngerti sama kemauan sendiri."

"Nggak jadi pasangan, walau cuma jadi temen, sahabat, atau apalah, gue tetep bakal ada buat lo kok Tis. Nggak, nggak, gue nggak bakal pergi. Kalau entar gue kuliah di luar negeri, gue tetep sahabat yang ada buat lo. Gue nggak bakal kayak mereka yang ninggalin lo. Nggak jadi pasangan, gue bakal tetep sama, Haryan yang lo kenal, Haryan yang selalu lo pukul tapi nggak pergi-pergi," jelas Haryan mendadak bijak. 

Buku Harian HaryanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang