21 - Haryan Baru

7.3K 1.7K 154
                                    

Satu bulan berlalu, Haryan masih sering mendapatkan kesalahan. Sekali mendapat bentakan, dia kepikiran semalaman.

Dua bulan berlalu, Haryan mulai terbiasa dengan keadaan. Tangannya sudah biasa bekerja cekatan dan langkahnya kakinya menjadi cepat.

Haryan tetap semangat di bulan ketiga. Dia ingin berkembang. Bukan hanya dari segi fisik, tapi dari segi intelektual. Walaupun terbiasa ragu-ragu dan plin-plan dengan keputusan, Haryan tetap menerobos semua pemikiran itu.

Pagi hari, Haryan sudah sampai di bengkel tepat waktu. Mengerjakan bagian yang harus dikerjakan, seperti melayani para pelanggan dari servis motor, ganti oli, bongkar ban, ganti busi, pasang gir, dan lain-lain, sampai pulang. Memang awalnya berat, tapi Haryan ternyata kuat.

Di rumah, Haryan rajin membersihkan diri, juga ke meja belajar untuk mempelajari hal yang kurang di dirinya.

Mulai dari mengatur waktu, mengurangi kebiasaan plin-plan, mengatasi tidur tak teratur, olahraga, merawat diri, sampai belajar ke hal yang masuk di dalam daftar minatnya.

Pagi ini, di hari tepat ketiga bulan lebih sehari, Haryan memberanikan diri untuk ke bengkel melewati jalan yang dekat dengan pasar pagi. Dengar-dengar dari Raja, Rilda sering menemani ibunya berjualan.

Namun, dia bahkan tak pernah bertemu dengan cewek itu. Haryan sesekali rindu, tapi langsung teringat dengan kata Tisya yang mungkin saja Rilda hanya penasaran.

Haryan jadi membuang jauh-jauh pemikiran bahwa Rilda menyukainya, walau sangat susah.

* * *

"Kaget gue sama perubahan lo yang sekarang, Yan," puji Tisya saat Haryan baru saja balik ke rumah dari bengkel, "MasyaAllah."

Yang dipuji hanya tersenyum kecut. "Alhamdulillah kalau gitu, tapi tumben lo muji. Mau dibeliin apa, nih?"

"Ih, beneran!" Tisya menunjuk wajah Haryan sambil tertawa. "Lo bener-bener nyimak omongan gue malam itu kayaknya."

"Iya dong." Haryan duduk di bangku depan rumah sambil membuka kaus kaki dan sepatu.

"Tangan lo." Tisya tertawa malu. "Ih, parah, sih, omongan gue pas itu. Nyelekit banget kayaknya."

Haryan jadi melihat tangan kanan dan kirinya. "Kenapa?"

Tisya mengumpat. Bisa-bisanya Haryan tak sadar, atau mungkin cowok itu pura-pura tidak tahu? Tisya tertawa lagi, malu mengatakan, "Lo kelihatan kekar sekarang, Yan, parah, sih. Tangan lo yang sehalus tangan cewek jadi berurat gitu. Terus gedean. Baru aja sebulan gue nggak main ke sini, padahal."

Haryan ikut tertawa. "Lo jangan muji-muji ampe segitunya, ah! Geli gue."

"Tuh, kan, lo memang maunya dihujat terus." Tisya iseng mengacak rambut Haryan yang ikal, mumpung cowok itu sedang duduk. "Rapihin ni rambut juga."

"Nanti lo naksir."

"Nggak! Dih."

Haryan berdiri dari bangku dan meletakkan sepatunya. Tiba-tiba dia mendapatkan komentar Tisya lagi.

"Tuh, kan!" Tisya menghentakkan kaki. "Lo makin tinggi, ah! Lo kenapa, sih? Kok, mendadak kayak glowww banget, gitu?"

"Apaan?" Haryan balas keheranan Tisya dengan pertanyaan yang sama. Dan benar saja, Tisya yang dulu setinggi bahu Haryan mendadak terlihat hanya setinggi dadanya. "Ini lo yang makin mungil atau gue yang—"

"Lo yang makin tinggi!" Tisya melompat-lompat. "Pas itu gue sebahu aja."

Haryan tersenyum penuh kemenangan. "Fix, gue ganteng."

Buku Harian HaryanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang