01 - Jurusan Perkiraan

27.3K 3.6K 162
                                    

Saling dorong-mendorong, seluruh siswa baru serempak berjalan bersamaan ke tiga mading pengumuman jurusan. Ada yang sempat baku hantam, baku tendang, baku senggol bahu, dan baku sandung kaki, untuk sampai di mading duluan. Pokoknya, aksi saling dorong ini seperti simulasi pembagian sembako.

Namun, Haryan sudah ada di sana. Bahkan sejak mading itu belum ditempeli kertas pengumuman dia sudah stand by di depannya. Haryan sangat semangat, tapi raut wajahnya menjadi mendadak berubah kecut kali ini.

Dugaannya benar.

Haryan berjalan dengan langkah lemah setelah tahu bahwa NEM rendah hasil Ujian Nasionalnya tak mampu lolos di Jurusan Akuntansi dan Multimedia. Sehingga, dirinya sekarang terlempar ke Jurusan Otomotif, jurusan urutan ketiga yang diminati SMK Wardhana Adibasra sekaligus jurusan terakhir di sana.

Ya, di SMK tersebut hanya terdapat tiga jurusan karena masih tergolong sekolah baru.

Kini, dia menghampiri Baza yang sedang berdiri di depan mading pengumuman siswa baru Jurusan Multimedia. Kalau saja Baza bukan teman kecil dan sahabatnya sejak SMP, mungkin Haryan sudah membenci cowok itu karena iri. Baza cerdas, bisa masuk SMA atau SMK mana saja, yang favorit sekalipun, juga memilih jurusan pun tak perlu ketakutan.

Haryan melangkah ke cowok yang sibuk menerobos kumpulan siswa itu. "Baja, nama lo udah ada di sana!" teriaknya yang membuat sang pemilik nama menoleh terkesiap.

Baza tak jadi menerobos. "Ah iya? Lo gimana? Jadi satu jurusan sama Tisya atau sama gue?" tanyanya sambil menghampiri sahabat yang memakai jaket merah itu.

Haryan menggeleng lemah. Di sekolah ini ada tiga mading, tetapi tangan Haryan terangkat menunjuk mading pengumuman di Jurusan Otomotif. Ini mengartikan bahwa Haryan tak akan satu jurusan dengan Tisya maupun Baza. Ketiganya akan melanjutkan pendidikan di jurusan yang berbeda.

Baza langsung paham dengan sikap itu. Dia merangkul Haryan untuk memberikan kekuatan.

"Orang-orang bakal bilang apa, ya, soal gue?" Tiba-tiba Haryan melontarkan kalimat itu.

Baza yang mendengarnya langsung merasakan sesuatu menusuk dalam dada. Senyum Haryan yang sejak pagi merekah penuh semangat kini telah sirna.

Haryan duduk di bangku ujung lapangan. "Yah, lo tau, lah, ya. Gue anak keluarga Baratama. NEM rendah, udah gitu kalah saing buat masuk Jurusan Akuntansi yang tentunya selalu bahas perusahaaan. Sebelum ini juga, gue kalah saing daftar di SMA, sampai lo harus ngikut segala ke SMK baru ini. Sekarang, gue bahkan nggak masuk di jurusan yang direkomendasiin ortu atau jurusan yang gue minatin, Multimedia. Aduh, gue harus apa dong, Ja?"

Baza prihatin dengan sahabatnya yang satu ini. Dia harus mencoba menenangkan Haryan dari kecemasannya. "Nggak pa-pa Yan. Jurusan Otomotif juga nggak kalah bagus. Kalau soal jurusan yang makin nggak sesuai harapan lo ini, menurut gue, lo harus sabar dan terima, yah walau agak susah. Siapa tau ini takdir, kan? Mungkin lo bakal temuin sesuatu di sini. Mungkin, ini bisa jadi peluang lo untuk dapet pengalaman lebih.

"Oh ya, gue ke SMK ini bukan karena ngikutin lo, kok. Gue ke sini karena memang pengin masuk Multimedia aja. Jadi lo nggak usah merasa nggak enak. Kalau lo takut pergaulan di jurusan Otomotif agak kasar, gue ada Yan."

Haryan mendesah kasar sambil mengacak rambutnya yang ikal dan panjang. "Gue nggak minat di jurusan itu! Aduh, susah!"

"Ada, sih, jalan terakhir," Baza meneguk saliva sebelum lanjut berkata, "lo bisa minta tolong bokap lo datang ke sekolah ini. Minta keringanan dari kepala sekolah. Bokap lo orang berada. Gue yakin pasti bisa, tapi itu balik ke lo lagi."

Haryan sontak menggeleng cepat, tidak setuju dengan ide itu. "Nanti gue malah tambah kena marah dan ngerasa bersalah. Udahlah, mending nggak usah."

"Haryan! Baja!" Seorang gadis berlari ke mereka dari mading pengumuman untuk Jurusan Akuntansi. Setelah sampai dia langsung bertanya, "Haryan gimana? Di jurusan Baja atau sejurusan sama gue?"

Kedua cowok itu menggeleng lemah.
"Gue malah masuk Otomotif Tis," jawab Haryan pada teman sejak kecilnya juga yang bernama Tisya.

Cewek berwajah manis dengan tubuh mungil itu melongo. "Duh, gue nggak nyangka, loh, Yan. Jadi gimana, dong?"

"Yah, nggak gimana-gimana. Terima aja." Haryan berdiri dan menarik tasnya untuk disampirkan ke bahu kiri. Dia berjalan dengan penuh kekecewaan. "Gue pulang dulu kalau gitu."

"Ikut!" kata Baza dan Tisya serempak.

Haryan berbalik. "Jangan dulu, deh. Gue butuh waktu sendiri. Gue mau terima jurusan itu, tanpa harus ngadu ke ortu buat mindahin gue ke jurusan yang gue mau. Gimana ya, nggak tega aja kalau tiba-tiba ada satu siswa keusir di antara dua jurusan itu. Dan satu lagi, jangan kasih tau orang kalau gue bener-bener bagian dari keluarga Baratama."

Baza dan Tisya saling melempar pandangan. "Nama belakang lo, kan, ada Baratama? Bakal kelihatan dari name tag."

"Mereka lebih kenal nama panggilan bokap gue ketimbang nama belakang keluarga. Gue juga bakal lepas name tag kalau istirahat. Pas di kelas sama pas upacara aja baru gue pakai. Jadi, kalaupun ketahuan, cukup anak satu jurusan aja yang tau," ujar Haryan yakin. "Untungnya, orang-orang nggak terlalu kenal gue karena bokap selalu jarang terima interview publik."

"Tapi kalau anak Jurusan Otomotif malah iseng apa-apain lo gimana?" Tisya takut sesuatu terjadi ke temannya yang lemah fisik itu.

"Gue maju," celetuk Baza.

Haryan meneguk saliva, berusaha untuk tidak ketakutan karena pikiran negatifnya. Walaupun ada Baza, tetap saja Haryan akan terjebak di zona tidak aman. Mungkin Baza bisa jadi pelindung saat istirahat, tapi saat jam pembelajaran Haryan akan menghadapinya sendirian.

"Semua bakal aman kok guys. Asal kalian berdua anggap gue anak biasa aja dan anggap gue anak Otomotif sekalian. Oh ya, anak Otomotif, kan, kuat-kuat," kata Haryan, berusaha terlihat tenang. "Dah, gue pulang duluan ya."

Mau tidak mau Baza dan Tisya harus bungkam.

Haryan mau bertemu buku hariannya sekarang.

__Buku Harian Haryan__


Buku Harian HaryanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang