"Sumpah, gue nggak paham, Tis!" Haryan membanting diri di sofa ruang tengah. Kepalanya melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan pelayan rumah sedang tidak berkeliling di ruangan itu. "Dari sekian banyak bahasa, kenapa Rilda pilih bahasa waria? Apa tadi katanya? Eike nengnong say. Astaghfirullah!"
Tisya tertawa hingga terduduk di depan televisi rumah Haryan. "Lo tengok fisik dia ya berarti. Soalnya, ada kejelekannya pun lo nggak terima."
Haryan menjadi gagap. "Eh..., ehm. I-ya juga, s-sih. Entahlah, bingung juga gue. Gue tadi kaget aja. Kaget, aja." Dia jadi menegapkan tubuhnya lagi. "Tapi gue serius mau tanya, dia perempuan tulen apa bukan?"
Mendapat pertanyaan itu Tisya mengernyit. "Ya cewek beneranlah! Kalau cowok ketahuan atuh dari suara, ada bekas jakun, sama bentuk badannya. Si Rilda itu coba lo liatin, cewek banget, dah! Nggak bisa bohong dia. Makin aneh aja lo mikirnya."
Haryan melepas karet yang terikat di rambut ikalnya. "Aduh-aduh!" Dia jadi kesakitan sendiri karena karetnya tersangkut. "Tisya tolongin!"
Tisya berdiri. "Dasar manja."
"Memang," balas Haryan sambil menyodorkan kepalanya ke Tisya. "Gue udah sampoan tadi pagi. Jangan tetap bilang bau ya."
Tisya menepuk kepala Haryan. "Lo, tuh, anaknya nggak usah jujur-jujur banget, bisa nggak, sih?! Pantesan kalau bohong selalu ketahuan ada yang nggak beres."
"Lah, lo selama ini nggak nyadar aja kalau gue doyan bohong demi ketemu Rilda." Akhirnya Haryan berani mengungkap apa yang dia sembunyikan. "Padahal bohong tu nggak baik, ah elah, dosa nambah."
"Lah, lo udah berapa lama ditatap sama dia?"
"Dari awal kelas XI, pas gue dibotak di tengah lapangan," jawab Haryan. "Pas itu gue masih ngira dia iba doang, atau nggak sengaja natap. Makin ke depan, dia sering gue pergok natap dari kejauhan. Dia itu kenapa, ya?"
Tisya berhasil melepas karet dari kepala Haryan. "Hm, kenapa ya? Kalau suka, nggak mungkin dong dia jadian sama Candra."
Haryan mengangguk, mengiakan.
"Eh, tapi mungkin aja. Siapa tau karena lo nggak peka-peka sama tatapan dia. Akhirnya dia capek, kan, ketemu yang cakep dan berprestasi begitu malah iya-iya aja. Mau nyoba doang," jelas Tisya.
Haryan jadi ragu lagi. "Aih, Tis! Lo jangan begitu, ah. Nanti gue gagal move on."
"Gagalin aja." Tisya memainkan ponselnya. "Siapa suruh lo nggak curi start duluan? Kan, diambil sama Candra. Padahal, Rilda natap lo dari kelas XI. Selama itu!"
"Tapi, gimana kalau dia ternyata natap gue karena ada alasan lain?"
"Emang lo punya alasan lain? Apa aja coba? Gue pengin denger, sebutin!" Tisya menaikkan satu kaki ke atas sofa.
"Misalnya yang ditatap ternyata selama ini bukan gue. Dia natap Kakang atau Baja. Terus, bisa jadi aja dia natap gue karena kita mungkin pernah kenal di SMP atau SD. Terus, bisa jadi juga, ternyata dia butuh gue karena duit gue banyak, Raja juga bilang kalau ortu Rilda jualan di pasar dan kita tadi ke rumahnya, walau lumayan besar, tapi nggak menutup kemungkinan dia lagi krisis ekonomi. Aduh kebanyakan kata 'terus'." Haryan menarik napas panjang sesudah menjelaskan.
"Hm, masuk akal juga, sih." Tisya memainkan jarinya hingga berbunyi. "Lo pernah kehilangan barang nggak, Yan?"
Haryan terdiam sejenak. Dia pernah kehilangan barang. Ya, buku harian yang pertamanya. Yang tak sengaja dia bawa ke sekolah dan disembuyikan di perpustakaan, hingga hilang.
Apa jangan-jangan Rilda yang menemukan buku itu?
Gue jujur aja nggak ya, ke Tisya soal buku ini? tanya batin Haryan. Nanti jujur diketawain besar-besar kayak apa dong?
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian Haryan
Ficção Adolescente(WATTYS WINNER 2021 Kategori YOUNG ADULT) (#4 Fiksiremaja 24/5/24) Tersasar ke Jurusan Otomotif di SMK membuat Haryan berbaur hingga gaya pakaiannya disebut seperti anak kolong jembatan. Hal itu membuat banyak cewek yang menolak Haryan, tetapi saat...