Majapahit |1

5.4K 409 34
                                    

Seorang gadis yang tengah asyik menonton serial favoritnya di laptop abu-abu kesayangannya, terganggu dengan suara yang amat berisik diluar pintu kamarnya. Dia tahu benar suara apa itu, itu adalah suara Mama dan Papa nya yang sedang bertengkar. Sudah dua tahun terakhir hubungan Mama dan Papanya merenggang, entah karena apa dia sendiripun tidak tahu dan tidak ingin tahu.

Sebagai seorang anak tentu dia merasa sedih harus terus menerus melihat pertengkaran kedua orang tuanya, tapi dia sudah cukup dewasa untuk bisa melihat siapa yang benar dan siapa yang salah.

Ya, dia adalah Mahika Nada Swastika gadis manis berusia dua puluh satu tahun yang kini bekerja sebagai editor disalah satu penerbit ternama di Kota Bandung.
Dia sudah punya penghasilan sendiri, bisa membiayai hidupnya atau bahkan gaya hidupnya yang sederhana. Dia bukan tipe perempuan yang senang belanja dan menghamburkan uang, dia adalah sosok sederhana yang cuek dan menjalani hidup dengan prinsip "let it flow."

Sore itu dia sudah tidak tahan dengan pertengkaran yang terjadi, dia segera mematikan laptopnya, memasukkannya kedalam tote bag hitam tidak lupa juga ia memasukkan handphone, charger, juga earphone, dan yang sangat penting, dompet. Ia meraih kunci mobil di atas nakas, lalu membuka pintu kamar yang pertama kali dilihatnya adalah Mama yang sedang duduk menangis dan Papa yang sedang memijat pelipisnya.

Tanpa berpamitan, ia melewati dua orang yang amat ia cintai itu dengan langkah tidak peduli dan tidak menghiraukan panggilan dari orang tua nya.

"Mahika! Mau kemana kamu?" Tanya Papanya yang tak digubris olehnya.

"Nak, kamu mau kemana? Jangan pergi Nak, sudah sore!" Mamanya juga ikut bersuara.

Mahika tidak mempedulikan panggilan dari orang tua nya, ia masuk kedalam mobil kemudian melaju secepat yang dia bisa, kemana saja asal tidak mendengar hal yang menyakitkan itu.

Ia terus melajukan mobilnya, tak tentu arah. Sampai akhirnya dia sadar dia ada didaerah pantai, berarti dia sudah jauh sekali dari rumahnya. Mahika tidak peduli, dia membayar tiket masuk dan segera duduk dibawah sebuah pohon yang cukup rindang di tepi pantai itu.

Ia hanya duduk menatap kosong lautan yang luas, matahari mulai tenggelam, langit menampakkan semburat jingga yang indah. Lama dalam posisi itu, dia akhirnya mulai bicara dengan lantang alias berteriak.

"TUHAN! AKU CAPEK! AKU NGGAK SUKA ADA DI POSISI INI! AKU MAU HIDUP NORMAL LAGI, TOLONG AKU TUHAN ANGKAT AKU DARI SINI AKU MAU HIDUP DAMAI!" Mahika tidak mempedulikan banyak pasang mata yang memperhatikannya dengan pandangan yang sulit diartikan. Masa bodo!

Dia menangis sepuas hatinya, masih menatap semburat jingga di langit sore itu, ia begitu terbuai akan keindahan dan kedamaian yang dia rasakan. Luar biasa damai. Sampai dia tidak menyadari ada karangan bunga kantil yang diantarkan oleh ombak menyentuh kakinya. Bunga itu wangi sekali, saat tangan Mahika menyentuh karangan bunga itu, tubuhnya dihantam kerasnya deburan ombak dan ternyata hari sudah gelap. Ia terus tertarik oleh ombak itu sampai ke tengah pantai, tidak lagi ada orang disini. Hanya dia sendiri bersama luka dihati, Mahika sadar mungkin dia tidak akan selamat.

"Selamat tinggal Pa, Ma." 

***

"Uhuk!" Aku mengerjapkan mataku. Apa aku masih hidup? Apa ini di surga?

"A-aku masih hidup atau sudah mati sih?" Monolog ku.

"Nyimas sudah sadar?" Tanya seorang wanita tua berpakaian aneh serba putih.

"Katanya Bidadari surga itu cantik-cantik, kok yang ini udah sepuh?" Batinku.

"Nyimas? Apa kepala Nyimas sakit?" Tanyanya lagi, tapi tunggu dulu dia bicara dalam bahasa apa? Dan kenapa aku mengerti apa yang dia katakan?

"Ya sedikit sakit, Aku dimana?" Hei apalagi ini?! Aku bicara dalam bahasa mana??

"Nyimas, minumlah ramuan ini dulu, ini akan menyembuhkan sakit kepala Nyimas." Ku rasa ia bukan bidadari, tapi seorang dokter.

"Kau belum menjawabku, katakan Aku dimana dan kau ini siapa?" Tanya ku pada perempuan itu.

"Nama hamba Inasih, Nyimas. Hamba adalah tabib kerajaan dan Nyimas sedang berada di kamar tamu istana Majapahit."

Apa tadi katanya? Tabib? Istana kerajaan? Majapahit?! Hei ini benar-benar gila!

Netraku memperhatikan seisi ruangan, tembok dari kayu dan bata, interior yang kuno sekali seperti di film kolosal. Ah! Mungkin sedang ada syuting, aku mencari tim kameramen dan sutradara tapi tidak ada siapapun kecuali tabib tadi. 

"M-Majapahit? Sekarang tahun berapa?" Aku berusaha mengerti semuanya.

"Benar Nyimas, ini adalah istana kerajaan Majapahit dan sekarang tah-

"Apa dia sudah sadar tabib?" Ucapan tabib itu terhenti ketika seorang pria dewasa berpakaian aneh menurutku, masuk diikuti empat orang laki-laki lain yang memegang tombak dan tameng.

"Yang Mulia, Nyimas sudah sadar dan kepalanya sedikit sakit." Tabib itu menunduk hormat pada laki-laki berperawakan atletis dan memakai mahkota dari emas - mungkin(?).

Laki-laki itu duduk di ranjang tempatku berbaring, ia benar-benar tampan dan berkharisma. Ada aroma mint yang menguar dari tubuhnya.

"Apa Nyimas sudah merasa lebih baik?" Suaranya begitu menggetarkan hati.

"Iya, hanya sedikit pusing. K-kau siapa?" Aku masih berpikir mereka sedang syuting film kolosal.

"Kau benar tidak mengenalku?"

Aku hanya menggelengkan kepala.

"Ah aku rasa Nyimas bukan berasal dari sini, Aku Maharaja Hayam Wuruk, Sri Rajasanagara. Raja ke-empat kerajaan Majapahit." 

GILA! APA AKU TERLEMPAR KE ZAMAN KERAJAAN?!

"Nyimas ini darimana? Bagaimana Nyimas bisa tenggelam di pantai?" Ia mengajukan pertanyaan.

Ah iya, benar! Aku ingat sekarang, aku tenggelam saat berada di pantai sore itu. Mama, Papa, apa kalian akan mencariku?

"Saya tidak tahu, saya tidak mengingat apapun,"

"Ah baiklah kalau begitu, Nyimas akan aman dibawah pengawasan tabib kerajaan. Dan barang yang ditemukan dekat Nyimas tadi ada di atas meja itu," dia menunjuk ke arah meja kayu dengan ukiran berwarna emas di sudut kamar.

"Nama Nyimas siapa? Nyimas mengingat nama Nyimas bukan?"

"Nama saya Mahika Nada Swastika,"

"Nama yang sangat indah, Bumi yang penuh harapan akan keberuntungan dan mempesona," bagaimana dia bisa tau arti namaku?

"Ningrum, Kemari!" Ia memanggil seseorang bernama Ningrum yang ternyata ada dibelakang para laki-laki yang ku rasa adalah prajurit.

"Iya Yang Mulia," gadis yang bernama Ningrum itu memakai kemben dan jarik polos warna coklat. Ia terlihat masih sangat muda, ku tebak usianya baru 18 atau 19 tahun.

"Kau harus menjaganya, membantu segala keperluannya, kau akan menjadi pelayan pribadinya,"
Titah Hayam Wuruk pada Ningrum.

"Baik Yang Mulia."

"Nada, saya pergi dulu. Kalau kau butuh apapun katakan saja pada Ningrum, dia akan membantumu." Hayam Wuruk mengatakannya sambil tersenyum manis, terlalu manis.

"I-iya Yang Mulia, terima kasih banyak," aku jadi ikut memanggilnya 'Yang Mulia' seperti tabib dan Ningrum.

Aku mulai mengerti alurnya sekarang, aku mengalami time travel, seperti film-film di drama Korea yang sering ku tonton. Aku terlempar ke Zaman Majapahit, di masa pemerintahan Hayam Wuruk. Itu berarti sekitar 700 tahun?! Wow crazy!



⚠️⚠️⚠️ Untuk beberapa perangkat, part 2, 3, 4, dan 5 mungkin teracak, silakan periksa ulang untuk membaca. Author sudah coba perbaiki berulang kali, tapi masih belum bisa. Mohon maaf untuk ketidaknyamanannya. Terima kasih 🍭

Tbc 

Semua yang tertulis dalam cerita ini adalah murni imajinasi penulis, bukan kejadian sejarah yang sebenarnya.

-Mettadian

Majapahit | Cinta Tanpa Akhir (Selesai - Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang