Majapahit |15

1.4K 159 0
                                    

"Astaga! Laksamana Nala?!" Hayam Wuruk tampak terkejut dan langsung memeluknya.

Tunggu sebentar! Laksamana Nala? Dia itu siapa?
Sebentar ya, masih loading nih otakku!

'Laksamana Nala adalah panglima perang yang berjuang di wilayah lautan. Ia memimpin pasukan dan berperang di lautan meski kadang ikut membantu Gajah Mada untuk membantai banyak musuh di daratan. Nama Laksamana Mpu Nala atau Senopati Sarwajala Mpu Nala mendapat tempat tersendiri dalam sejarah Kerajaan Majapahit.'

Aku kembali mengingat perkataan Pak Budi- guru sejarahku saat sekolah dulu, Aku sangat menyukai cara mengajarnya. Makanya Aku bisa mengingat materi yang beliau sampaikan hingga saat ini.

"Apa kabarmu Maharaja?" Tanya Laksmana Nala.

"Aku baik, sangat baik. Kenapa kabar kepulanganmu tidak sampai padaku? Hanya kabar tentang Paman Mada saja,"

"Ini semua rencana Mahapatih, Yang Mulia. Dia bilang supaya memberikanmu kejutan."

"Astaga! Selamat ya, rencana kalian berhasil. Aku sangat terkejut,"

Laksamana Nala dan Mahapatih hanya tertawa menanggapi Hayam Wuruk.

Selesai acara penyambutan, Hayam Wuruk memintaku untuk ikut keruangan pribadinya. Katanya dia akan mengenalkanku pada Mahapatih dan Laksamana Nala disana, sekaligus membicarakan masalah yang kami temui dipasar tadi.

Apa Aku cukup pandai hingga diajak dalam diskusi besar antara seorang Maharaja, Mahapatih, dan Laksamana seperti ini?

"Salam, Yang Mulia! Salam Tuan-Tuan!" Aku memberi salam pada tiga orang pria hebat diruangan itu. Astaga, jantungku mulai deg-degan.

"Salam, Nyimas!" Mahapatih dan Laksamana menjawab salamku.

"Nada, Masuklah!" Hayam Wuruk menunjuk kursi diseberang Mahapatih.

"Nah, Paman! dia ini adalah Mahika Nada Swastika. Perempuan yang Aku bicarakan tadi. Dia yang sudah menjalankan perdagangan dengan orang-orang Inggris. Meskipun banyak sekali kendala, tapi dia tetap gigih dan tidak menyerah untuk bisa mensukseskan perdagangan rempah itu." Hayam Wuruk sangat berlebihan, sungguh. Aku malu jadinya.

"Maaf, Nyimas. Boleh saya tau, Anda berasal dari daerah mana?" Mahapatih menanyakan asal daerahku? Ah berarti Aku bisa jawab dari Sunda, daripada Aku bilang dari masa depan? Duh bahaya.

"Saya dari tanah Pasundan, Mahapatih." Jawabku sedikit takut.

"Pasundan?"  Giliran Laksamana Nala yang terlihat terkejut.

"Benar, Laksamana."

"Apa Nyimas keturunan Prabu Linggabuana Wisesa?"

Linggabuana Wisesa? Sebentar ya, biarkan otakku berpikir dulu. Ah iya! Ayahnya Dyah Pitaloka Citraresmi.

"Bukan, Mahapatih. Saya hanya anak seorang pedagang biasa," Papaku memang pengusaha, jadi Aku tidak bohong.

"Lalu, bagaimana bisa Kau mampu berbicara bahasa Inggris?" Mahapatih dan Laksamana menginterogasiku secara bergantian.

"Ah itu, karena Saya sering ikut Ayah bepergian ke luar negeri untuk berdagang. Jadi saya belajar di sana,"

"Ah begitu, Kau terlihat seperti perempuan berpendidikan tinggi, Nyimas." Kata Laksamana Nala.

"Saya memang bersekolah, Laksamana. Ayah saya selalu berkata, dilahirkan sebagai perempuan atau laki-laki itu sama saja.  Perempuan juga berhak atas hidupnya sendiri, perempuan berhak menjadi pemimpin, berhak menjadi ksatria seperti Dewi Srikandi. Perempuan punya hak untuk mendapatkan pendidikan, dan kehormatan dimasyarakat. Jika kehormatan seorang perempuan tidak lagi dihargai, maka negeri itu akan hancur."

Majapahit | Cinta Tanpa Akhir (Selesai - Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang