Majapahit |27

1K 141 2
                                    

Klik dulu bintang⭐ di pojok kiri bawah, ya, Pembaca yang terhormat🍭

"Janji?"

"Ya, Aku berjanji,"

Malam itu Aku jadi tidak bisa tidur, membayangkan hari-hariku di Majapahit tanpa Hayam Wuruk. Tidak mendengar suara lembutnya, tidak merasakan pelukan hangatnya, tidak melihat kharismanya, tidak dihadapkan dengan sikap menyebalkannya. Ah Aku takut. Takut.......
Rindu.

...

Pagi ini adalah hari pertama ku mengajar di Adiwidya Danurdara. Aku berangkat bersama Ningrum dan Adanu. Padahal Hayam Wuruk pernah berjanji untuk mengantarku, tapi hari ini dia sedang sibuk mempersiapkan keberangkatannya ke Tumasik, besok. Nertaja juga membantu Hayam Wuruk, jadi Aku hanya bertiga saja.

Ketika kami bertiga sudah sampai di sekolah, ternyata disana sudah sangat ramai. Banyak anak-anak dan juga orang tua yang mengantar mereka. Aku senang jika antusiasme rakyat Majapahit seperti ini.

"Adanu, Ningrum! Hari ini kita akan ajarkan mereka mengenal huruf dulu, kita satukan mereka semua di aula sekolah," Kataku pada dua partner kerjaku hari ini.

"Semua, Nyimas?" Tanya Adanu.

"Iya, semua. Termasuk para orang tua juga jika mereka berkenan ikut pelajaran,"

"Baiklah, Nyimas."

Kami bertiga mengajak semua orang untuk duduk di aula sekolah yang cukup luas, bahkan para orang tua juga terlihat bersemangat untuk belajar. Sungguh, ini diluar ekspektasiku! Aku kira akan sulit menarik minat rakyat Majapahit, apalagi ini adalah hal yang baru untuk mereka.

"Selamat pagi semuanya! Salam sejahtera untuk kita semua. Apa kabar kalian hari ini?" Aku berdiri di bagian depan aula menghadap semua orang yang akan menjadi muridku hari ini. Aku gugup sebenarnya, tapi tenang saja Aku bisa mengatasinya.

"Baiiik!" Anak-anak menjawab sangat keras dan kompak.

"Aku tidak mendengarnya, katakan sekali lagi. Apa kabar kalian hari ini?!"

"Baiiiik!" 

"Bagus sekali, tepuk tangan dulu untuk anak-anak hebat yang mau belajar di sekolah Adiwidya Danurdara hari ini!"

Suara tepukan tangan terdengar riuh, Aku senang sekali. Andai Hayam Wuruk melihat ini.

"Oh iya, kalian sudah tahu siapa Aku dan dua orang di sebelahku ini?"

"Beluum,"

"Sudaah,"

"Ada yang sudah dan ada yang belum, ya? Baiklah kalau begitu biar kami perkenalkan diri kami, dimulai dari pria gagah yang berdiri disebelah kananku ini, silakan tuan!"

"Selamat pagi semuanya, Aku Adanu Kertawirya. Tugasku disini untuk membantu Saraswati Raani mengajar kalian semua."

"Baiklah Tuan Adanu, sekarang perempuan cantik yang berdiri disebelah kiriku. Silakan!"

"Salam, semuanya! Aku Ningrum. Tugasku sama seperti Tuan Adanu, yaitu membantu Saraswati Raani disini."

"Jadi lelaki gagah ini adalah Tuan Adanu, dan perempuan cantik ini adalah Nyimas Ningrum. Ucapkan salam pada mereka!"

"Salam, Tuan! Salam, Nyimas!"

"Kalau Nyimas ini siapa namanya?" Tanya bocah lelaki usia sekitar 6 tahun.

"Aku?"  Kataku sambil menunjuk diriku sendiri, dan bocah itu mengangguk gemas.

"Baiklah, Namaku Mahika Nada Swastika, Yang Mulia Maharaja Sri Rajasanagara memberiku gelar Saraswati Raani. Kalian bisa memanggilku apa saja, kecuali Saras. Mengerti?"  Karena itu adalah panggilan spesial dari Hayam Wuruk.

"Mengerti, Nyimas!"

"Bagus sekali! Baiklah, sekarang kita akan mulai saja pembelajaran kita hari ini. Siapa yang sudah bisa membaca?"

Mereka diam, tidak ada yang menjawab pertanyaanku kali ini.

"Tidak ada?"

Masih hening.

"Tidak apa, disini kita akan pelajari. Aku akan tulis di atas papan kayu ini, kalian nanti tiru apa yang Aku tulis."

"Adanu, Ningrum! Tolong bagikan alat tulisnya!" Adanu dan Ningrum membagikan 3 helai daun lontar kering dan pena beserta tinta untuk setiap anak, termasuk orang tua mereka. Sedangkan Aku menulis di atas papan kayu yang sangat lebar seperti papan tulis, dengan menggunakan arang, penghapusnya kain basah.

"Semuanya sudah dapat alat tulis?"

"Sudah, Nyimas!"

"Bagus, kita mulai mengenal huruf, ya? Jangan dulu ditulis, sebelum Aku minta, ya!"

5 menit, 10 menit, 15 menit... semua berjalan lancar sampai ada anak yang mulai menangis, disusul beberapa anak yang lain.

"Hey, ada apa? Kenapa menangis?" Aku menghentikan kegiatanku. Lalu menghampiri anak-anak yang menangis.

"Aku tidak bisa, huwaaa!" Anak perempuan itu menangis semakin keras, karena dia tidak bisa menulis. Belum bisa.

"Aku juga tidak bisa, bagaimana caranya huwaaa!" Anak lain mulai menangis juga.

Situasi mulai tidak kondusif. Aku kembali ke bagian depan aula.

"Semuanya bisa tolong perhatikan kesini? Lihat kearahku!" Aku sedikit berteriak dan mengetuk papan kayu dengan tanganku beberapa kali.

"Semuanya, tolong dengar, ya? Tidak apa kalau kalian belum bisa menulis atau mengikuti pembelajaran dengan baik. Ini baru hari pertama, sangat wajar jika masih ada yang kesulitan. Tidak perlu khawatir, apalagi menangis. Jika memang perlu bantuan, katakan saja padaku, Tuan Adanu atau Nyimas Ningrum, ya?"

"Baik, Nyimas!" 

"Sekarang istirahatlah dulu, kalian boleh minum, makan atau bermain dilapangan. Nanti akan kita lanjutkan lagi."

...

Hari ini sangat melelahkan, banyak hal yang terjadi di hari pertama sekolah. Sekarang sudah malam, dan Aku sedang merebahkan diri dikamar, setelah mandi dan berganti pakaian. Ningrum sedang ke dapur menyimpan piring bekas makan malam. Aku menyalakan handphone ku, memasang earphone nirkabel, lalu menyetel musik favoritku.

Ah sudah sangat lama rasanya tidak mendengar bahasa ini, terlalu larut dalam alunan lagu yang sangat Aku rindukan, sampai tidak sadar kalau mulutku juga ikut melantunkan syairnya.

Menatap kepergian dirimu..
Meratap menangis sedih tak tertahan...

Aku menyukai tempat ini, dengan segala kesederhanaan penduduknya, keindahan alamnya, dan segala sesuatu yang dapat Aku pelajari disini. Termasuk seseorang yang sangat istimewa, yang membuatku merasa nyaman berada disini.

Terbayang saat bersama, lewati masa terindah..
Saat kau memelukku, tuturkan cinta..

Aku mengenal arti sebuah ketulusan disini, Aku memahami sesuatu yang luar biasa tentang cinta. Cinta seorang pemimpin untuk rakyatnya, juga cinta rakyat untuk pemimpinnya.

Kaulah seluruh cinta, bagiku..
Yang selalu menentramkan perasaanku..

Meski terkadang ada konflik, atau sedikit kesalahpahaman. Namun Aku dapat melihat cinta disetiap mata penduduknya.  Aku juga belajar tentang rasa sabar, sabar menghadapi suatu masalah, dan bagaimana cara untuk tetap bersikap tenang meski amarah sudah memuncak.

Dirimu 'kan selalu ada di sisiku, selamanya...

Jika Aku bisa, Tuhan. Aku tidak ingin melupakan tempat ini.  Dengan segala keistimewaannya. Segalanya.

...

Tanpa Nada sadari, ada sepasang mata dan telinga yang memperhatikannya sedari tadi di jendela yang terbuka.

Nada memang membuka jendelanya, membiarkan hembusan angin masuk dan menerpa wajahnya membawa aroma kantil dan menampakkan keindahan rembulan dengan mangata diatas kolam ikan. Kesempurnaan tiada banding.

Tbc

Semua yang tertulis dalam cerita ini adalah, murni imajinasi penulis. Bukan kejadian sejarah yang sebenarnya.

Mettadian.

Majapahit | Cinta Tanpa Akhir (Selesai - Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang