Majapahit |44

921 107 17
                                    

Hatiku berdesir, sesak, dan nyeri saat aku melihatnya lagi setelah berbulan-bulan. Jauh sekali perbedaan Hayam Wuruk yang hari itu melayangkan tatapan marah dan benci padaku dengan Hayam Wuruk yang tertidur dengan tak tenang di hadapanku ini. Tubuhnya kurus, aku bisa melihat garis kerutan di dahinya saat dia tidur, dia pasti tidak tidur dengan nyaman dalam kondisi begini.

"Bagaimana keadaan Maharaja, Yang Mulia?" Aku bertanya pada Ibu Ratu.

"Dia tidak mau makan, tubuhnya kurus karena tidak ada apapun yang masuk ke dalam perutnya, tidak bahkan untuk setetes airpun. Demamnya tidak kunjung turun, dan dia bilang kepalanya sakit." Jelas Ibu Ratu.

"Apa ramuan penyembuh dari tabib juga belum diminum, Yang Mulia?"

"Belum, Nak. Bagaimana ia mau meminum ramuan itu jika meminum setetes air pun dia tidak mau?" Aku hanya mengangguk-angguk sambil memandang ke arah Hayam Wuruk yang terbaring lemah itu. 

"Nada, kau dari mana saja? Kakakku mencarimu sudah lebih dari dua purnama, kenapa kau baru datang sekarang?" Tanya Dyah Nertaja.

"Aku pergi ke suatu tempat untuk menenangkan pikiranku dan mengistirahatkan tubuhku, Yang Mulia." Ya, aku memanggilnya Yang Mulia. Aku ini kini bukan siapa-siapa lagi di Majapahit, aku bahkan sudah mengundurkan diri dari jabatan Saraswati Raani.

"Kau pergi untuk menangkan diri dan istirahat disaat Kakakku menderita seperti ini?! Kau gila, Nada!" 

"Nertaja!" Tegur Ibu Ratu.

Aku memahami kemarahan dan kekecewaan Nertaja padaku, ya itu wajar saja. Apa yang dia katakan memang benar.

"Tidak apa, Yang Mulia. Bhre Pajang memang benar, aku sudah gila."

"Ya, memang kau gila. Tidak punya akal sehat dan tidak punya hati!" Tambah Nertaja lagi, aku hanya bisa menerima semua ini. 

"Uhuk! Uhuk!" 

"Yang Mulia?" Perhatian kami semua tertuju pada Hayam Wuruk yang terbatuk.

"S-Saras? Apa itu kau?" Suaranya serak dan lemah. Aku baru mendengar suara itu lagi setelah sekian lama.

"Ya, Yang Mulia, ini aku." Jawabku gemetar menahan tangis.

"Aku pasti bermimpi, kau tidak mungkin datang," Ya Tuhan, suaranya begitu lemah aku tidak sanggup mendengarnya.

"Kau tidak bermimpi, Yang Mulia, ini benar-benar aku." 

"Saras, ini benar kau? Kau kembali, Ras?" Katanya dengan bersemangat dan bersusah payah untuk duduk dan menggapaiku.

"Kangmas, pelan-pelan saja. Kau masih lemah," Kata Sudewi lembut sambil membantu Hayam Wuruk untuk duduk. 

Yang Mulia Ratu mendorongku untuk mendekat pada Hayam Wuruk, awalnya aku melayangkan tatapan bertanya pada beliau, tapi beliau menjawab.

"Temui dia, Nak. Dia merindukanmu,"

Dengan perlahan aku mendekat pada Hayam Wuruk dan duduk di kursi kecil di sebelah ranjang. Hayam Wuruk bergegas untuk menarik tanganku dan menggenggamnya dengan erat sekali.

"Bagaimana keadaanmu, Yang Mulia?" jujur, aku gugup bukan main.

"A-aku baik-baik saja, Ras. Bagaimana denganmu?"

"Aku juga baik-baik saja, Yang Mulia."

"Apa kau datang untuk men- uhuk..uhuk!" belum sempat Hayam Wuruk menyelesaikan kalimatnya ia sudah batuk cukup parah.

"Bisa aku minta air hangat, tabib?" Kataku pada Tabib.

"Kakakku akan tidak mau minum, percuma saja!" 

Majapahit | Cinta Tanpa Akhir (Selesai - Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang