Majapahit |36

967 123 25
                                    


"Kau mengenalnya, Nyimas. Bahkan kau mengenalnya jauh lebih baik daripada aku."

"Hey mana bisa begitu?"

"Tentu saja bisa, Nyimas. Hahaha!" Dia ini kenapa sih dari tadi tertawa terus?

Tanpa Nada sadari, sedari tadi ada sepasang mata mengawasi interaksinya dan Adanu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan, bercampur menjadi satu antara positif dan negatif. Siapa itu?

...

 Aku telah selesai mengganti perban Adanu dengan kain yang baru, bertepatan dengan datangnya tabib. 

"Tabib, aku sudah selesai mengganti kain pembalut lukanya, apakah ini sudah benar?"

"ya, Nyimas. itu sudah benar dan baik, terima kasih,"

"ya, tidak masalah. Adanu, aku akan kembali ke kamarku, rasanya badanku pegal sekali. Mungkin sedikit pijatan dari Ningrum akan membuatku merasa lebih segar,"

"Ah iya, Nyimas. Kau memang perlu istirahat, jangan khawatirkan aku, ada tabib disini, lagipula aku sudah baik-baik saja." 

"Kalau begitu aku permisi dulu, jika nanti ada sesuatu tolong segera beritahu aku,"

"Baiklah, Nyimas. Salam!" Aku hanya menjawab salam itu dengan anggukan dan senyuman.

Aku berjalan keluar dari kamar Adanu, sungguh rasanya hatiku berkecamuk tidak karuan. Banyak hal yang ada dalam pikiranku saat ini, kekecewaan rakyat terhadap kelalaianku atas serangan yang terjadi hari ini, bayanganku tentang rakyat yang menjadi korban padahal mereka tidak bersalah sama sekali, ketakutanku jika rakyat mungkin tidak akan mau kembali lagi ke sekolah, serta bagaimana caranya aku menghadapi Hayam Wuruk dan Yang Mulia Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi? Aku takut sekali, aku kalut, sungguh. 

"Nyimas, kau mau kemana?" Aku berpapasan dengan Ningrum yang membawa nampan berisi makanan.

"Ah, Ningrum? Kau belum mandi?" 

"Hehe, belum, Nyimas. Aku khawatir kau akan pingsan karena kelaparan, makanya aku membawakanmu makanan dulu,"

"Astaga, aku tidak selemah itu, ya!" 

"Hahaha, maafkan aku, Nyimas. Sekarang kau mau kemana?" 

"Aku mau kembali ke kamar, tadinya aku mau meminta tolong padamu untuk memijat tubuhku sebentar,"

"Ah iya, Nyimas tentu saja, ayo ke kamarmu aku akan memijatmu sampai kau tertidur,"

"Baiklah, tapi kau mandi saja dulu dan satu lagi, tolong buatkan juga teh jahe ya untukku."

"Siap, Nyimas!"

"Hahaha! Ya sudah, kemarikan nampan itu biar aku yang membawanya,"

"Eh jangan, Nyimas! tidak pantas kalau kau membawa nampan ini sendiri, biar aku saja."

"Sudah tidak apa, kau mandi saja sekarang. semakin cepat kau mandi semakin cepat juga kau memijat tubuhku,"

"Ya sudah kalau kau memaksa, aku permisi dulu, Nyimas!" Kata Ningrum sambil menyerahkan nampan berisi makan malamku.

 Kalau kalian mau tahu isi dari nampan ini apa saja, biar aku sebutkan. Ada semangkuk kecil nasi putih hangat, ada ayam rebus yang ditaburi bawang goreng, semangkuk sayur labu, segelas air putih hangat, dan sebuah pisang. Ningrum sudah tau makanan yang aku suka, jadi ini semua adalah makanan yang tidak asing lagi bagiku manusia milenial. Tentu saja makanan ini tidak sepenuhnya cocok di lidahku sebagai generasi micin. Ah sudah lupakan! 

Aku terus berjalan menuju kamarku, rasanya sangat tidak sabar untuk segera mendapat pijatan. Pasti sangat nyaman. Aku sampai di depan pintu kamar, agak sulit membuka pintu dengan tanganku memegang nampan berat ini, jadi ku pinta bantuan dari Prajurit yang berjaga di sepanjang lorong. 

Majapahit | Cinta Tanpa Akhir (Selesai - Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang