Air mataku menetes saat membaca surat ini, aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku sekarang ini, aku hanya ingin menangis saja. Lalu tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang.
"Nduk! Kamu baik-baik saja?"
"Eh, Eyang? Iya, Eyang aku baik-baik saja." Jawabku sambil mengusap air mataku.
Eyang mengambil posisi duduk di sebelahku, beliau menghela napas lalu berkata,
"Mata itu cerminan hati, Nduk. Eyang tahu kamu tidak sedang baik-baik saja. Kamu khawatir toh pada Maharaja?"
"Aku.." Aku bahkan tidak sanggup untuk berkata sepatah kata pun.
"Nduk, menjaga harga diri itu memang penting, dan kamu sudah mempertahankan harga dirimu dengan berani mengambil langkah yang besar. Langkah ini membuatmu berubah sepenuhnya, tapi tidak dengan hatimu. Sekeras apapun usahamu untuk menghindar dan pergi jauh dari rasa sakit itu, hatimu tidak akan pernah sejalan denganmu. Kamu tahu karena apa?" Aku menggeleng.
"Karena hatimu sudah terikat dengannya, sadar atau tidak hati kalian berdua sudah terpaut satu dengan yang lain. Kamu ndak bisa menyangkal itu." Eyang berkata lembut sambil mengusap rambutku dengan sayang.
"Rasakan hati kecilmu, Eyang rasa sudah cukup kau menenangkan hatimu itu dan menyembuhkan lukanya selama tinggal disini. Justru luka baru kini muncul karena mengetahui bahwa cintamu itu terluka, tapi kamu bahkan tidak berbuat apapun."
"Sudah-sudah, jangan menangis lagi ya cah ayu! Eyang mau ke pasar dulu, kamu disini saja pikirkan baik-baik apa yang mau kamu lakukan."
"Eyang apa tidak apa jika tidak aku antar?"
"Tidak apa, Nduk! Eyang sudah biasa, kamu masuk sana ke dalam minum air dulu biar tenang. Eyang berangkat dulu, ya?"
"Iya Eyang terima kasih banyak, hati-hati di jalan!"
Setelah Eyang berangkat ke pasar tidak lama Mbah juga pamit berangkat ke sawah. Tinggalaku sendirian di rumah ini, aku mengambil segelas air dari poci tanah liat lalu menenggaknya sampai tandas. Aku duduk di belakang rumah di bawah pohon rindang sambil memikirkan perkataan Eyang dan surat dari Ningrum tadi.
"Maharaja sakit, Nyimas." "Kembalilah, Nyimas." "Kau adalah pelita dalam hidupnya, jika pelitanya hilang bagaimana keindahan itu bisa terlihat?"
"Sekeras apapun usahamu untuk menghindar dan pergi jauh dari rasa sakit itu, hatimu tidak akan pernah sejalan denganmu. Karena hatimu sudah terikat dengannya, sadar atau tidak hati kalian berdua sudah terpaut satu dengan yang lain."
Kalimat-kalimat ini terus terngiang di kepalaku, aku bingung menjelaskan perasaanku sekarang. Haruskah aku kembali?
...
Fajar berikutnya aku sudah mandi dan bersiap dengan pakaian yang rapi dan bersih, tetap dengan selendangku. Aku pamit pada Eyang dan Mbah. Ya, aku memutuskan untuk kembali ke istana. Bagaimana kehidupanku setelah ini, maka akan kita lihat nanti. Yang penting aku pergi dulu ke istana untuk menjenguk Hayam Wuruk, entah aku akan dihukum di sana atau bagaimana aku pasrah saja. Toh aku juga tidak tau bagaimana caranya untuk kembali kemasa depan.
"Eyang, Mbah, aku pamit ya. Terima kasih sudah menjagaku selama disini, aku sedih harus meninggalkan kalian berdua, tapi aku memang harus pergi, 'kan Eyang?"
"Hati-hati di jalan, Nduk. Benarkah kamu tidak mau Mbah antar saja?"
"Tidak perlu, Mbah. Mbah temani Eyang saja di rumah, nanti jika ada kesempatan aku pasti akan kembali menemui kalian lagi. Aku pergi dulu, Eyang, Mbah!"
![](https://img.wattpad.com/cover/260771857-288-k462932.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Majapahit | Cinta Tanpa Akhir (Selesai - Diterbitkan)
Historical FictionTerlempar ke zaman Majapahit?! Ke masa pemerintahan Hayam Wuruk?! Bagaimana bisa? Itulah yang dialami oleh seorang gadis bernama Mahika Nada Swastika, atau biasa dipanggil Nada. Suatu hari ia muak dengan pertengkaran kedua orangtuanya, lalu memutusk...