Majapahit |45

1.4K 118 9
                                    

"Tabib, kalian keluarlah! Aku ingin bicara berdua dengan Nada." Aku terkejut mendengar perkataan Hayam Wuruk. Aku bersiap untuk menghadapi keadaan canggung dan lainnya saat berdua saja dengan Hayam Wuruk di ruangan ini.

"Baik, Yang Mulia. Kami permisi, salam!"

Setelah para tabib keluar dan pintu itu tertutup, kini tinggal aku dan Hayam Wuruk di ruangan ini.

Bayangkan bagaimana keadaan hatiku saat ini.

"Ras, duduklah!" Titah Hayam Wuruk sambil menunjuk ke kursi di sebelah ranjang tadi, dan aku menurut.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya.

"Seperti yang kau lihat, Yang Mulia. Aku baik-baik saja," 

"Yang Mulia?" dia terlihat heran.

"Disini hanya ada kau dan aku, Ras. Kenapa kau memanggilku begitu?"

"Aku ini bukan siapa-siapa, rasanya tidak pantas jika memanggilmu hanya dengan nama saja," 

"Di kamar ini, di hadapanmu saat ini aku juga bukan seorang raja, aku mohon panggil namaku," Dia mencoba untuk menggenggam tanganku, namun aku tepis.

"Mana bisa begitu, Yang Mulia."

"Bisa, aku mohon, Ras!"

"Baiklah Hayam Wuruk."

"Aku begitu merindukan sapaan itu, Ras."

"Aku bukan lagi Saraswati Raani, Hayam Wuruk. Berhenti memanggilku begitu,"

"Kau masih Saraswati Raani, sampai kapanpun gelar itu hanya milikmu seorang,"

"Tapi aku sudah mengundurkan diri dari posisi itu,"

"Dan aku tidak pernah mengabulkan pengunduran dirimu itu,"

"Kau masih sama seperti dulu, keras kepala." Kataku.

"Ya, aku memang keras kepala. Kau tahu itu, 'kan?"

"Ras, aku.. aku minta maaf untuk semuanya. Aku terlalu gegabah, aku tidak berpikir sebelum bicara, aku sungguh menyesal. Setelah aku mengetahui semuanya hari itu, rasanya aku ingin mengir*s lidahku saat itu juga. Aku telah melukai hati perempuan yang aku cintai, aku minta maaf, Ras." Akhirnya waktu itu tiba, waktu dimana ia mengucapkan kata maaf.

"Aku tahu Ras, ungkapan maaf yang aku ucapkan dari mulutku sampai kapanpun tidak akan pernah bisa menyembuhkan luka di hatimu, tapi setidaknya aku mencobanya, Ras. Selama lebih dari dua purnama ini aku mencarimu ke seluruh penjuru negeri, aku dihantui rasa bersalah, rasa penyesalan, dan amarah. 

Ya, Ras, aku marah pada diriku sendiri yang begitu bod*h merendahkan harga dirimu, meragukan moralitasmu, menggoreskan luka di hatimu, aku benci pada diriku sendiri, Ras. Aku berusaha keras untuk menemukanmu, sampai pada saat dimana aku berpikir kalau telah kembali pada duniamu, pada keluargamu, kau telah kembali ke masa depan dan meninggalkan aku dengan luka disini. 

Setiap malam aku bicara pada bulan, berkeluh kesah padanya, tapi bulan justru mengingatkanku tentang kamu. Tentang hari dimana kita duduk di kamar ini, menatap ke luar jendela dan berbincang tentang bulan. Aku dapat melihat wajahmu tergambar pada bulan, bagiku bulan redup selama dua purnama ini karena wajahmu sendu, tapi malam ini tidak akan.

 Bulan malam ini akan bersinar terang, karena ia telah mengembalikanmu padaku.  Saat itu aku yakin kalau bulan sedang menyembunyikanmu dariku, itu sebabnya sekeras apapun usahaku untuk mencarimu kau tetap tidak kembali. Sampai hari ini tiba, hari dimana aku dapat kembali melihat wajahmu, dapat kembali mendengar suaramu, dapat kembali menggenggam tanganmu seperti ini. Aku begitu merindu, Ras." Aku hanya bisa menunduk dan menangis dengan tangan tergenggam olehnya. Rasanya begitu sesak mendengar penuturannya dan beberapa fakta yang baru aku tahu. Pria di depanku ini benar-benar mencintaiku. 

Majapahit | Cinta Tanpa Akhir (Selesai - Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang