"Karena cuaca di pegunungan memang dingin, jadi rumah ini sudah dilengkapi dengan pemanas ruangan."
"Kalau cuacanya lagi panas, apa rumah ini menyediakan pendingin juga?" tanyaku balik.
Ini adalah rumah kedua puluh delapan yang kusurvei dalam bulan ini. Aku suka sama lingkungannya yang asri dan tenang. Selain tidak terpengaruh budaya modern, aliran selokkan di depan rumah airnya sangat jernih sekali.
Selain itu, ada lahan kosong yang mengapit rumah berdinding kayu ini. Rencana ke depannya, aku akan bercocok tanam semaksimal mungkin, sehingga nanti aku akan jadi petani yang sukses dan merajai dunia global!
"Dimana aku bisa membeli empat ekor anjing penjaga, bapak penjual rumah yang baik hati?"
"Anjing penjaga ---" bapak tua itu malah bengong. "Kalau itu saya tidak tahu. Sebab, disini tidak ada yang pelihara anjing."
"Tepat sekali!" Aku menjentikkan jari.
Ini adalah kawasan pedesaan asri. Jadi, kebanyakkan para tetangga disini memelihara sapi totol-totol sebagai sumber susu segar mereka.
"Aku juga akan beli sapi. Karena aku sudah lulus kuliah, dan tidak berencana untuk menikah cepat."
Ponsel bapak tua itu berbunyi. Dia sedikit menjauh dariku, karena sepertinya telepon itu bersifat rahasia dan sentimentil.
Aku masuk kembali ke dalam rumah kayu itu. Tubuhku bergetar antusias menatap semua perabotan yang ada di dalamnya.
Inilah rumah baruku nantinya. Dan aku, akan memulai kehidupanku yang baru disini.
Tanpa ada gangguan dari keempat cucu Kakek Rudolf yang selalu saja bangga dengan tubuh dan kontol mereka itu.
Huft!
Sebagai teman, mungkin aku akan membeli dua puluh ekor kucing nantinya. Tapi sebelum itu, aku harus mempersiapkan nama, baju, dan kalung untuk mereka.
Begitu pindah nanti, aku tinggal membeli pakaian, perlengkapan mandi, dan bahan-bahan makanan.
Aku kembali keluar. Menghirup udara pegunungan yang sangat menyejukkan hati dan sanubari. Sambil kutatap langit yang mendung, aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku tidak akan pernah mau jadi selebgram seperti Gilbert.
"Halo, bapak penjual rumah yang wanginya seperti embun segar. Apakah aku boleh membayar sekarang?"
Bapak tua itu berbalik. Dia lepaskan kacamata hitamnya, dengan seulas senyum yang mengembang.
"Kamu suka dengan rumah ini?"
"Ohhh, tidak bisa!!!" Aku memekik. "Kenapa om-om peneliti lukisan bisa ada disini?" Aku menatapnya curiga. "Jangan bilang kalau om adalah cendikiawan yang lagi liburan disini?"
"Ha-ha-ha..."
Om-om itu tertawa dengan nada berirama. Kuperhatikan deretan gigi dan bagian dalam mulutnya.
Mulutku tanpa sadar mengikutinya. Aku harus bisa tertawa seperti dia. Karena menurutku, tawanya itu sangat keren dan berkelas.
"Apa kabar, Cloudy?"
"Well, aku baik-baik saja, Om Hansol."
"Kamu --- terlihat lebih tinggi dan dewasa."
"Ha-ha-ha. Jangan bersitegang, Om Hansol. Aku ini sekarang sudah lulus dengan predikat Cum Laude. Dan aku, akan jadi peternak susu sapi yang cerdik."
"Mau berkeliling?"
"Tidak bisa. Om jangan coba-coba merubah niatanku. Aku ---"
"Kalau kamu suka, kamu boleh menempati rumah itu, tanpa perlu membayarnya." Om Hansol yang sejatinya keren itu memotong pembicaraanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLOUDY 2
Ficção AdolescenteOm Gerald sama Om Rama sekarang musuhan. Jika Om Rama memiliki Lee Company, maka Om Gerald pun memiliki GE Company sebagai tandingannya. Lama kelamaan, tingkah mereka semakin kayak anak kecil dan membuat kepalaku hampir pecah. Bagaimana kalau misaln...