Ch. 10. Hang in There

2.5K 180 21
                                    

Trilly keluar dari tenda dan menggeliat. Ia menggosok matanya. Hanya Wendy dan dirinya yang telah terbangun pagi itu. Wendy masih duduk di dalam tenda sambil menguap. Trilly memperhatikan pakaiannya sendiri. Ia meminjam pakaian Wendy setelah mandi kemarin. Ia tak peduli meskipun pakaian itu terlihat aneh saat dikenakannya. Trilly berjalan ke tengah- tengah jalan dan menengadah melihat langit yang cerah, “Pukul berapa sekarang?”

Wendy memakai boots- nya dan mengikuti Trilly, “Entahlah. Bagaimana bisa cowok- cowok belum bangun? Padahal mereka duluan yang tidur. Akan kubangunkan mereka. Lebih cepat lebih baik, bukan?” Wendy pun berlari ke tenda di seberang. “Tunggu, kurasa itu tidak sopan...” cegat Trilly. Namun, Wendy sudah membuka pintu tenda. “Apa ini?” tanya Wendy.

Kartu remi bertebaran di dalam tenda. Bob, Bim, dan Cam tidur tak beraturan di dalam tenda. Wajah mereka kotor karena coretan... apa itu? tanah? “Kurasa aku tahu kenapa mereka belum bangun,” kata Wendy. Trilly mengangguk, “Bagaimana mungkin mereka main tanpa ketahuan? Mereka pasti menyalakan senter dan berisik, kan?” Wendy mengangkat bahunya, “Entahlah. Mungkin mereka bermain setelah kita tertidur,”

Wendy mendekati Bim, kemudian berteriak, “Buaya!” Bim pun tersentak bangun dan berteriak, "Apa?!” Kemudian Cam dan Bob ikut terbangun. Bim menyadari Wendy dan Trilly tertawa terbahak- bahak dan Bim pun cemberut, “Sialan...” Bob mengusap matanya dan menguap, “Eh? Ada apa sih?” Lalu ia menyadari keberadaan Wendy dan Trilly dan segera mengusap wajahnya untuk membersihkan tanah yang menempel, "Ini... bukan apa- apa!”

“Kau benar- benar tidak pandai berbohong,” kata Trilly sambil menunjuk ke kartu remi yang berserakan. Cam langsung mengumpulkan semuanya dengan cepat, “Yang kalah dicoret wajahnya. Hanya itu,”

***

Mereka telah membereskan tenda dan mengemas semua peralatan. Stok makanan mereka berkurang. “Kita harus ke supermarket,” kata Bob. “Kemana saja asalkan tak ada Nash dan Melody,” kata Cam sambil mengerang. Semua mengangguk setuju.

Cam yang terakhir masuk ke mobil. Gilirannya untuk menyetir. Kemudian, sebelum Cam hendak memajukan mobil, Bob yang duduk di jok di sebelahnya berkata, “Ih! Jujur saja, GPS nya rusak sebelumnya, karena itu aku tersesat. Entah GPS nya atau aku yang tak mengerti petanya, sih,”

Semua pandangan teralihkan padanya. “Kenapa tak bilang dari sebelumnya saja, sih? Sini coba ku cek,” kata Cam. Beberapa saat kemudian ia mengumumkan, "Hah. Tidak ada yang rusak di GPS- nya. Kau yang salah membaca petanya, atau mungkin memang ada yang aneh dari GPS- nya yang tidak kuketahui. Sudahlah, mari kita pergi.”

Bob menyengir malu, “Keren, kau bisa mengeceknya,” Cam pun menggeleng- geleng sambil tersenyum simpul.

Mereka berkendara cukup jauh dan lama sehingga akhirnya sampai di daerah yang tidak terlihat seperti hutan. Mereka menemukan minimarket. “Semoga saja tak ada si Duo Menyebalkan itu lagi dan si Cewek Garang,” kata Bim dengan gugup. Ternyata, mereka berhasil membeli makanan tanpa diganggu. Mereka meletakkan uang di kasir sesuai dengan harga makanan yang mereka beli. Wendy mengomel menyuruh mereka untuk melakukannya meskipun tak ada orang sama sekali.

Perjalanan pun dilanjutkan. Mereka makan siang di mobil, ya, sambil mobilnya berjalan. Mereka sempat berenti beberapa kali untuk pergi ke toilet umum yang mereka temui. Setelah lumayan lama, Cam berkata, “Aku tahu daerah ini! Kita sepertinya sudah sampai di Fairmont!” dengan gembira. Pemandangan kota pun mulai terlihat jelas. Hari sudah mulai sore. “Seperti janjiku sebelumya, ayo kita bermalam di hotel ayahku,” lanjut Cam. Cam membawa mereka ke arah menuju hotelnya. Bim mengira hotel yang Cam maksud adalah hotel yang bagus, namun tak terlalu mewah ataupun megah, namun ternyata dugaannya salah. Hotel itu sangat, sangat mewah. Halaman depan yang sangat luas, air mancur beserta kolam yang cukup besar di tengah- tengah halaman depannya.

Empty StreetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang