Ch. 30. Dinner Party

442 43 11
                                    

See? I'm back. hehe. Vomment and enjoy :D


Keberangkatan Jimmy dan rombongannya membuat kediaman Lefler menjadi sangat sepi. Wendy ingat wajah Nash dan Melody begitu melihat ayah mereka memasuki mobil, seolah- olah mereka berdua sudah tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukan. Pasti mereka sangat mengkhawatirkan sang Ilmuwan Gila itu. Kapan terakhir kali Wendy menyebut Jimmy sebagai Ilmuwan Gila? Semuanya terasa sangat cepat dan sulit dipercaya. Sebentar lagi, hanya sebentar lagi, keadaan akan berubah normal. Namun waktu yang ia habiskan untuk menunggu hingga saat itu tiba pastilah akan terasa sangat lama.

Wendy lagi- lagi telah kembali ke kamarnya dan benar- benar berbaring di atas ranjang, dalam kegelapan, mengira bahwa hal itu akan menenangkannya. Sorotan dari bulan di luar merembes melalui jendela tinggi yang ada di sebelah kiri Wendy. Ia merasa seperti ini adalah momen ketika sedang menunggu- nunggu sesuatu untuk terjadi, sesuatu yang benar- benar diharapkan, dan rasanya semua komponen dalam tubuhnya seperti sedang berapi- api dan bergejolak tanpa bisa diam karena sudah tidak sabar. Wendy tidak bisa tidur karenanya.

Berpikir bahwa mungkin secangkir teh akan membantu, Wendy pun berjalan keluar kamar untuk pergi ke dapur. Lorong di lantai itu benar-benar sepi dan gelap karena lampu- lampu telah dimatikan, kecuali satu yang ada di atas meja, tepat di ujung lain ruangan. Suara langkah kaki Wendy menggema, dan napasnya pun terdengar seperti sebuah bisikan pelan seseorang. Karena takut, Wendy mempercepat langkahnya untuk segera sampai ke lift.

Jauh dari dugaannya, beberapa orang temannya sudah ada di dapur mendahului Wendy. Melody sedang terduduk muram di meja di tengah dapur, memandangi cangkir berisi minuman berwarna cokelat pekat di depannya. Bob sendiri berada di seberangnya, menoleh ketika Wendy memasuki dapur yang luas itu. "Wendy." sapa Bob. Melody hanya menengok, lalu kembali menunduk. Karena merasa seperti sedang menganggu, Wendy cepat- cepat membuat secangkir teh dan pergi meninggalkan ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Lagi- lagi, dugaannya salah karena mengira ruang tengah akan kosong. Trilly, Bim, dan Haley sedang berkumpul di sofa- sofa empuk yang ada. Sebelum ada yang bisa mengatakan apapun tentang kedatangan Wendy, gadis itu cepat- cepat mengatakan, "Hanya ingin mengecek." dan kemudian membalikkan tubuhnya untuk pergi.

Tanpa sadar, ia sudah berjalan ke arah yang ia tahu dan malah menggunakan tangga, bukannya lift. Wendy tidak tahu ia sedang berada di lantai berapa saat itu. Yang pasti, tempat itu sama- sama gelap dan sunyi seperti lantai tempat kamar Wendy berada. Mungkin di lantai itu benar- benar tidak ada kamar yang terisi. Entahlah. Tangga ke atas maupun lift berada di ujung lorong, dan Wendy mencaci- maki dirinya karena telah melamun. Ia terlalu malas untuk berjalan kembali ke bawah. Jadi, ia putuskan untuk tetap berjalan maju.

Ingin rasanya berlari, namun hal itu mungkin akan meningkatkan adrenalinnya dan malah membuat jantungnya makin berdebar tidak karuan. Apa yang sebenarnya ia takutkan? Tetapi, Wendy melihat sesuatu yang sebelumnya tidak ia sadari. Sebuah kilatan cahaya kehijauan yang terlihat ganjil di tengah- tengah lorong. Sepertinya berasal dari sebuah ruangan yang pintunya agak terbuka.

Ketika mendekatinya, Wendy menimbang- nimbang apakah ia sebaiknya mengintip atau tidak. Namun, belum sempat ia berjalan lebih jauh, pintu terbuka dan mengenai wajahnya. "Aduh!"pekik Wendy, setengah berbisik, setengah berteriak.

"Astaga!" sahut suara yang familiar. "Wendy?"

Wendy mengusap- usap wajahnya dan balas menjawab, "Nash?Sedang apa kau di sini?"

Nash berjalan mendekatinya tanpa menutup pintu. Hanya sebagian tubuhnya yang tersorot cahaya unik dari dalam ruangan, sisanya terlihat gelap. Mata birunya terlihat makin bagus dari sudut itu. "Maafkan aku, aku sungguh tidak tahu kau ada di situ," jelas Nash.

Empty StreetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang