•Happy reading!•
___•___'Tanpa ketenangan, solusi enggan untuk datang. Tanpa pembicaraan, kejelasan hanya sebatas tebakan yang membangun keraguan.'
~Dyah Ayu Kurniawati.•
•
•
Seorang gadis memiliki masalah dengan cara berjalannya itu keluar dari dalam kamar mandi bersama dengan setelan seragam olahraga yang terlipat tidak rapi di pelukan tangannya.
Sesekali sudut bibirnya meringis menahan rasa pedih yang bersumber dari kakinya. Manik matanya menunduk gelisah memikirkan cara agar kakinya mau diajak kerja sama dengan membantunya berjalan lebih cepat sedikit. Hanya semakin nyeri yang ia dapatkan ketika kakinya menolak paksaan darinya. Tara sama sekali tidak menikmati acara jalannya kembali menuju loker dengan langkah kaki terseok-seok seperti baru saja tertembus timah panas.
Kelopak mata itu sedikit bias dengan genangan bening air mata. Tara menggerutu untuk dirinya sendiri yang tengah berkaca-kaca. Sudah beberapa kali peringatan yang ia jatuhkan pada dirinya sendiri agar tidak membiarkan sifat cengeng hinggap dalam jiwanya. Begitulah Tara, memaksa kuat walaupun ia hampir sekarat.
Ekor matanya menangkap sosok gadis yang cukup familiar juga berbenteng misterius yang berjalan dari arah berlawanan dengan dirinya. Tara menundukkan wajahnya menghindari tatapan datar yang membuat Tara serba salah. Tara kadang bertanya-tanya, mengapa orang harus memberikan tatapan seperti itu? Dimana letak kesalahan Tara hingga ia ditatap dengan acuh dan kadang penuh intimidasi begitu? Tapi, dalam sisi lain ia sadar. Ia bukan siapa-siapa hingga harus selalu diberikan tatapan hangat dari semua orang. Mencoba berpikir positif, jika memang sebagian orang tidak menyukai interaksi. Sepertinya dirinya.
"Di kelas sudah ada guru, lebih baik kau segera masuk."
Tara tersentak cukup lama dengan otomatis langkahnya yang juga tertunda. Teman sekelas dengan dia yang menduduki kursi deretan belakang itu tiba-tiba berbicara pada dirinya. Tanpa sebelumnya ada perkiraan dalam benak Tara.
"I-iya." Hanya kata itu yang mampu Tara wakilkan untuk menanggapi pemberitahuan teman sekelasnya. Ia memberanikan dirinya membalas tatapan gadis didepannya dengan sopan, meskipun gadis itu menatap aneh ke arah lutut Tara.
"Jangan terlalu terpaku pada apa yang hilang. Tapi, berusahalah untuk mendapatkan hal yang bisa bertahan." Dahi Tara mengernyit tidak bisa mencerna kata-kata yang terdengar sangat penuh arti yang dilontarkan gadis dihadapannya itu. Kenapa tiba-tiba ia harus diberikan peringatan seperti itu?
Saat Tara hendak membuka mulutnya untuk sekedar bertanya, gadis dihadapannya hanya menghadiahkan sebuah tepukan pelan pada pundaknya yang lalu ia melenggang meninggalkan segerombolan pertanyaan dalam benak Tara.
Tara masih menatap sepenuhnya dengan kebingungan kepergian gadis yang menjadi pembelanya pada saat upacara tadi. Gadis yang pergi dengan langkah gontai bersama tangan kirinya yang membawa kantung plastik hitam. Hingga sosoknya menghilang dalam bilik kamar mandi.
Wajah Tara mendadak murung hanya karena memikirkan gadis itu. Ia bahkan belum bisa berterimakasih secara benar pada gadis yang belum diketahui namanya itu. Satu yang ia tahu, gadis itu dekat dengan Jodhi. Dan fakta itu menimbulkan rasa nyeri pada hatinya. Tidak tahu mengapa.
Lamunan Tara terputus karena perut berlapis lemaknya menyiarkan bunyi kelaparan. Ah, dasar sistem pencernaannya yang memiliki kelebihan hormon lapar. Baru olahraga dan berjalan sebentar saja sudah keroncongan minta asupan begini. Padahal masih butuh satu jam pelajaran lagi hingga datang waktu istirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tubby, I Love You! (Selesai)
Teen Fiction"Jikalau tubuh yang terlihat jauh dari kata sempurna, maka hati yang ku rasa sangat dekat dengan kata luar biasa." -Jodhi Saga Ginanjar Prawira. "Tidak ada yang bisa aku sombongkan, tetapi tidak semua harus aku sesalkan." - Tara Aponi Beatrice * * *...