36 || Better to Happier

93 26 38
                                    


•Happy reading!•

Mungkin benar hidup sejatinya bukan sebuah kompetisi
Namun, manusia-manusia itu sendiri sangat berbakat menjadi juri
Menetapkan tuntutan prestasi
Melakukan penilaian terhadap materi dan kemampuan diri
Padahal mereka tidak mengerti betapa sulitnya bertahan di tahap ini

Mereka bilang semuanya kerja keras untuk mewujudkan mimpi
Tapi, ambisi tampak nyata berkonspirasi
Menebarkan benih-benih saling membenci
Persaingan ketat merebutkan sebuah tropi ilusi
Kehormatan adalah harga mati
Dan pengkhianatan merupakan kebenaran untuk meraih posisi tertinggi

Kalah berarti kau harus pergi
Tidak berharga lagi dan tersisih
Terbakar dalam api
Terinjak-injak oleh sepatunya orang berdasi dan pemilik rok mini
Sungguh sebuah ironi

Padahal dunia sendiri tidak abadi
Untuk apa semua perjuangan penuh strategi,
Jika pada akhirnya itu hanya sebatas jembatan untuk mati?
Mungkin kini kau menikmati banyak orang menyanjung dan memuji
Namun, bukan berarti tanah nantinya akan menginginkan mu menyatu kembali
~ Jodhi Saga Ginanjar Prawira.

• • •

Mungkin benar adanya tentang hari kesialan di antara jejeran hari-hari lainnya. Tapi, Tara tidak ingin menyebutnya demikian. Hari  ini dimulai dengan ketidakmatangan persiapan Tara yang berakibat menempatkannya pada sedikit masalah tak diinginkan. Cukup buruk untuk pagi harinya, karena dia terlambat datang ke sekolah sekitar 8 menit dari jam yang sudah di tentukan. Seorang Tara terlambat?! Itu sebuah sejarah dalam kehidupannya. Manusia sepertinya jarang, atau parahnya mendekati tidak pernah memasuki ranah terlambat itu sendiri sebelumnya.

Semua memang murni kesalahan dirinya. Tadi malam ia baru bisa mengunjungi alam bawah sadar pada pukul empat. Hal ini menyebabkan tubuhnya susah untuk bangun pagi. Papanya membangunkan dirinya pada hampir setengah tujuh. Dengan persiapan super kilat Tara mencoba pergi ke sekolah diantar Pak Jauhari. Kenyataannya berakhir dengan ia tetap dihukum.

Tara melewati jam pertama pelajaran pagi ini, karena harus menjalani hukumannya. Setelah tadinya berdiri dalam satu barisan yang di bawah terik matahari langsung dan diintrogasi juga diceramahi sedemikian banyak, tetap saja mereka yang tidak disiplin harus membersihkan halaman sekolah dan tempat-tempat pilihan lainnya sebagai hukumannya. Tubuh Tara bahkan belum menerima asupan apapun.

"Wajahmu terlihat pucat, apa kau baik-baik saja?" Tanya seorang gadis yang senasib dengan Tara. Tara tidak begitu mengenalnya karena tidak sekelas dengannya.

Tara menggelengkan kepalanya pelan. Disekanya keringat yang mengalir di pelipis kirinya. "Tidak apa-apa, kok," jawabnya diiringi senyuman kecil.

"Oh, okey." Siswi perempuan itu tidak lagi bertanya lebih jauh.

Keduanya kembali fokus pada hukuman mereka memunguti daun-daun kering yang gugur mengotori lingkungan sekolah. Tak jarang juga ada sampah plastik bekas bungkus makanan dan jajan. Padahal sudah menjadi aturan sekolah untuk memberikan denda bagi mereka yang membuang sampah sembarangan, rupanya masih ada juga yang melanggarnya diam-diam di sewaktu-waktu kesempatan.

Alis tipis gadis itu terangkat saat merasakan sensasi dingin mengejutkan di keningnya. Bola matanya bergerak ke atas yang langsung disambut dengan botol minuman dingin yang sengaja ditempelkan sebuah tangan ke dahinya.

"Aku tidak menyangka jika gadis serajin dirimu bisa telat juga," kata si pelaku membuat Tara menoleh ke arahnya.

"Jodhi?" Gumam Tara memastikan. Bibir tebal pemuda itu menarik garis untuk tersenyum sebagai jawaban.

Tubby, I Love You! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang