38|| Bittersweet

87 24 15
                                    


•Happy reading!•

Jika tahu menjadi dewasa berarti harus merasakan banyak luka,
Aku ingin memilih untuk tetap menjaga manisnya masa balita tanpa dosa
Jika dewasa berarti harus banyak menelan kecewa,
Aku akan lebih memilih terus berada di masa kanak-kanak yang manja
Jika saja aku tahu untuk menjadi dewasa berarti harus merasakan banyak kehilangan,
Aku lebih baik tidak pernah meniup lilin di atas kue ulangtahun

Dulu, yang terpenting adalah lengkapnya kasih sayang
Sekarang, semua harus berdasarkan uang
Aku tak tahu jika hanya untuk tertawa lepas,
Aku harus terjun ke dunia bebas
Malam yang dulunya ku takutkan saat masih bocah,
Kini aku terjebak di dalamnya
Gemerlap dunia malam penuh tipu daya

Aku rindu...
Pada masa kecilku
Aku ingin memutar waktu
Agar ku bisa mengatakan aku bahagia pernah berlari bersamamu
Meski sementara,
Kau tetaplah pelita yang menerangi jalanku untuk pulang
Merajut masa tua yang lebih tertata


| • | • | • | • | • |

Pagi yang cerah di hari Sabtu dengan sinaran mataharinya yang mengirimkan kehangatan ke segala penjuru dunia. Tapi, itu bukanlah alasan cukup kuat untuk tidak memiliki kesedihan.

Gadis bertubuh tambun itu duduk seorang diri di halaman belakang rumahnya. Hanya keheningan dan ketidakberdayaan yang menemaninya. Tangannya secara hati-hati membuka album foto besar yang berada di pangkuannya.

Bibirnya menyunggingkan seulas senyuman manis mengamati satu persatu gambar yang sudah usang itu. Ingatannya ikut berpartisipasi pergi mengelana menjelajahi dunia kenangan.

Namun, dalam hatinya merasakan perih seperti terhimpit batu besar. Untuk menghirup napas saja menyesakkan. Ia tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca. Matanya buram bersiap menerjunkan air mata pertama yang dengan cepat ia seka.

"Menangis sendirian itu tidak enak. Kenapa tidak memintaku untuk menemanimu?" Suara berat itu datang tiba-tiba dari arah belakang cukup membuatnya terkejut.

Tara hanya memberikan senyuman kecilnya setelah menoleh pada pemuda yang berjalan mendekat ke arahnya. "Karena aku tahu, tanpa perlu aku minta kamu akan datang saat aku membutuhkan." Pemuda itu ikut tersenyum atas jawaban Tara.

"Aku kira kamu akan datang ke sana," ujarnya setelah mendudukkan dirinya di samping Tara. Pandangan pemuda itu tertarik menuju album foto yang ada di pangkuan Tara.

"Aku merasa tidak akan kuat jika berada di sana, Jod. Apa aku buruk dengan tidak hadir di hari pernikahan Papaku sendiri?" Senyum manis itu telah berganti dengan rasa miris pada dirinya sendiri. Wajahnya menunduk.

"Tidak, aku juga tidak datang saat orangtuaku menikah. Karena, aku belum lahir," jawab Jodhi setengah bercanda. Dia bermaksud membuat gadis tambun itu kembali ceria. Dan caranya sangat ampuh menghadirkan kekehan berarti mewarnai mendung di wajah Tara.

Ya, Hendra hari ini melangsungkan pernikahannya di sebuah gereja dengan Elin sebagai pasangannya. Tara sudah memberikan restunya. Tapi, gadis itu tidak bisa hadir turut mewarnai kebahagiaan Papanya.

"Apa yang kamu hadapi memang tidak mudah, Ra. Kamu kuat untuk mencapai titik mengikhlaskan sejauh ini. Tidak perlu lagi memaksakan apa yang dunia inginkan. Papamu pasti akan memahami dirimu. Berikan doa terbaikmu untuk mereka." Kali ini Jodhi berkata serius. Tara memang manusia yang kuat di antara jutaan manusia lainnya yang memiliki ujian berat.

"Apa yang aku lakukan ini sudah benar, Jod? Aku takut jika Mama akan membenciku di sana."

"Tidak, Tara. Mamamu bangga memiliki anak berjiwa besar sepertimu. Papamu juga bangga memilikimu sebagai kekuatannya untuk bertahan."

Tubby, I Love You! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang