40 || He Completes Us

100 20 30
                                    


Happy reading!•

'Aku belajar dari kura-kura, jika induknya pergi bukan berarti tidak menginginkan anak-anaknya lagi. Tapi, mereka percaya kesungguhan hubungan akan mempertemukannya pada perairan yang sama. Kura-kura yang hidupnya lama bukan berarti bebas dari ancaman punah. Meskipun mereka memiliki tempurung yang berat, mereka tidak pernah mengeluh. Karena, itu bagian dari kehidupannya yang memberikan kenyamanan dan rasa aman. Dan ujian adalah bagian yang paling menentukan dari pencapaian kebahagiaan. Bukan seberapa cepat kau menyelesaikan ujiannya, tapi seberapa lama kau mampu untuk menahannya.'
~Tara Aponi Beatrice.


Tara lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berada di kamar semenjak rumahnya kedatangan anggota keluarga baru. Bukannya dia menghindari Elin. Namun, Tara maupun Elin sendiri kesulitan untuk memecahkan dinding kecanggungan. Sehingga suasananya menjadi kaku saat mereka bertemu.

Tara hanya turun ketika membutuhkan sesuatu di lantai bawah. Atau pada waktunya dia akan membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Selebihnya, dia menggunakannya untuk menonton, belajar, tidur, membaca, ataupun rebahan saja dengan dirundung kebosanan.

Seperti petang ini, Tara berjalan menuruni tangga untuk turun ke lantai pertama dengan membawa seperangkat seragam batik yang ia pakai untuk sekolah tadi. Gadis itu berniat mencuci seragamnya ini untuk besok ia pakai kembali. Tara memang sudah terbiasa hidup dengan bersih dan rapi.

Bola matanya bergerak-gerak memindai ruangan yang dilewatinya. Alisnya berkerut menyadari suasana rumah ini lebih hening dari biasanya. Tidak ada tanda-tanda aktivitas kehidupan apapun di sini. Biasanya ada Tante Elin yang akan membuat makan malam di dapur. Tapi, Tara tidak mendapati itu. Wajar 'kan kalau Tara mencari keberadaan Istri Papanya itu? Ia sudah terbiasa melihatnya dan sekarang tidak mendapatinya menghadirkan perasaan aneh. Tara akui jika Tara sudah mulai membutuhkan sosoknya. Perasaan takut kehilangan itu masih kerap kali kembali membuat Tara berpikir macam-macam.

"Mungkin saja dia pergi keluar," monolog Tara memberikan sugesti baik pada pemikirannya sendiri. Tara melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti di area dapur.

"T-tolong... Akhh... S-siapapun tolong aku." Secara spontan rintihan itu membuat Tara menghentikan langkahnya.

Itu suara Ibu barunya yang terdengar lirih dan kesakitan. Tetapi, Tara sulit menemukan keberadaan sosok wanita tersebut walaupun sudah menoleh ke segala arah mencarinya. "Tante Elin?" Tara memutuskan untuk memanggilnya dan berjalan menuruti instingnya ke arah yang dipikirkannya sebagai sumber terkuat suara itu berasal.

"T-tolong, Ra. Di sini..." Tara bersyukur ada tanggapan yang membuat arah sumber suara semakin jelas. Langkah gadis itu dipercepat berjalan ke arah halaman belakang rumahnya yang diyakininya terdapat Elin di sana.

Matanya terbelalak kaget saat sudah sampai di pintu belakang rumah itu. Dia melihat Elin yang bersimpuh di atas lantai mencoba bergerak dengan tangan memegangi perutnya yang membesar.

"Ya, Tuhan... Tante kenapa?" Tara membuang seragamnya ke sembarang arah demi bisa mendekat ke arah wanita itu. Gadis yang terbelenggu kecemasan melihat ke adaan Elin itu berjongkok memastikan kondisi yang sedang terjadi.

Elin tidak menjawab. Lebih tepatnya tidak bisa menjawab. Suaranya seakan menghilang. Keringat terus turun membanjiri wajahnya. Dia mengeratkan bibirnya menahan bergetar seperti menahan sakit yang teramat sangat. Beberapa kali matanya terpejam dan nafasnya mulai tidak teratur.

"S-sakit, Ra," lirihnya yang belum bisa Tara mengerti.

Tara terkesiap kaget sekaligus mengerti penyebab utama kesakitan Elin saat pandangannya tanpa sengaja terarah pada darah yang mengalir menuruni betis wanita itu. "Tante mau melahirkan?!"

Tubby, I Love You! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang