•Happy reading!•
Sebanyak apapun persamaan,
Buktinya setitik perbedaan selalu lebih mencolok untuk ditemukan
Yang akhirnya menjadi bahan perbandingan hanya karena ketidakjelasanTidakkah cukup pembelajaran yang kita dapatkan untuk menghapuskan pengetahuan dan mulai menerapkan pemahaman?
Apa keharmonisan hidup berdampingan sebagai makhluk Tuhan hanya omong kosong yang diagung-agungkan?
Mengapa mereka lebih memelihara dendam untuk saling mengalahkan?
Dan akhirnya membinasakan kepercayaan daripada kenangan kebersamaan untuk rencana masa depan?Itu semua karena kurangnya pengetahuan dan sedikitnya ketidakadilan
Juga besarnya pengaruh uang dan kekuasaan
Melenyapkan dalam kekecewaan| • | • | • | • | • |
Tidak semua sesuatu baru yang hadir dalam kehidupan bisa disambut dengan perasaan senang. Seminggu lebih berjalan pernikahan antara Papanya dan Tante Elin belum juga bisa membuat Tara merasakan kembalinya sosok ibu dalam kehidupannya.Tara sadar jika dirinya sendiri yang mempersulit proses bersyukur atas apa yang Tuhan berikan. Ia masih mendekap erat masalalunya yang telah pergi hingga susah hati untuk membukanya bagi yang baru.
Penghuni kediaman keluarganya bertambah satu anggota semenjak Tante Elin resmi menjadi istri Papanya. Tara sendiri yang menyetujui agar Tante Elin pulang ke rumah mereka. Kasihan Papanya yang kerepotan kalau bolak-balik dua rumah mengurus orang-orang dalam tanggungjawabnya itu. Namun, Tante Elin tetap berada tempat yang berbeda dari milik Mamanya. Mereka sepakat jika kamar Papanya dan Tante Elin akan berada di kamar yang sebelumnya merupakan kamar tamu.
Kamar yang dulunya ditempati mendiang Mama Estu dan Papanya dibiarkan tidak ditempati dengan tujuan menjaga kenangan yang ada. Barang-barang seperti Baju Mamanya tersimpan rapi di sana sebagai pengobat rindu yang melanda. Tara atau Papanya akan ke sana untuk menumpahkan air mata saat rindu itu membakar hatinya.
Ironi memang. Papanya masih sangat mencintai Mamanya. Apakah Tante Elin sakit hati mengetahui itu? Tara rasa mungkin sedikit. Tante Elin begitu memaklumi kondisi Papanya. Cinta tak semudah itu diubah. Atau bisa Tara simpulkan jika Tante Elin sendiri juga begitu. Masih terpaku dengan masalalunya. Tara pernah mendapati wanita hamil tua itu menangis memeluk erat foto mendiang suaminya. Hal yang sama yang Papanya lakukan di kamar lamanya.
Bagaimana bisa mereka memutuskan untuk bersama sementara pada hati mereka enggan berpaling dari kekasih hati masing-masing yang sudah tiada? Mungkin benar jika semua pernikahan tidak selalu berdasarkan cinta. Tapi, Tara tidak buta jika mengamati keduanya yang terlihat saling membutuhkan dan memiliki rasa yang sama, walaupun keduanya menolak mengakuinya dengan alasan takut membuat orang yang sudah tiada terluka. Mereka hanya terkekang oleh perasaan bersalah. Tara harap orang dewasa seperti mereka bisa menyelesaikan masalahnya dengan mudah tanpa memperumit masalah. Semoga saja.
Tara yang sudah berseragam lengkap dengan tas punggungnya terkejut saat membuka pintu kamarnya mendapati Elin berada di depan kamarnya dengan satu tangan terangkat ke udara hendak mengetuk daun pintu itu.
"S-sarapannya sudah siap," ujar Elin yang menjawab penasaran Tara.
Hubungan mereka masih secanggung itu meski berada di bawah atap yang sama. Kalau berbicara saja suka gagap tanpa sebab.
"I-iya, Tante."
Parahnya Tara masih bertahan dengan panggilan lamanya untuk menyebut istri baru Papanya itu. Tante Elin masih terlalu muda untuk memiliki anak sebesar dirinya yang sudah SMA. Mereka lebih pantas menjadi adik-kakak daripada Ibu-anak. Papanya maupun Tante Elin sendiri tidak pernah marah, memaklumi jika Tara belum terbiasa. Akan tetapi, Tara tahu jika Tante Elin mungkin menginginkan lebih untuk dekat dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tubby, I Love You! (Selesai)
Teen Fiction"Jikalau tubuh yang terlihat jauh dari kata sempurna, maka hati yang ku rasa sangat dekat dengan kata luar biasa." -Jodhi Saga Ginanjar Prawira. "Tidak ada yang bisa aku sombongkan, tetapi tidak semua harus aku sesalkan." - Tara Aponi Beatrice * * *...