•Happy reading!•
___^•^___' Fisik bukanlah tolak ukur dalam cinta, tapi fisik manusia ada sebagai bukti peleburan dua orang yang pernah bercinta."
~ My• • •
Bagi jiwa yang terbiasa, suasana sepi dan lenggang ternyata sumber keberanian yang berawal dari ketenangan agar bisa keluar dari lingkup kesendirian.
Gedung-gedung yang menjadi saksi indahnya kehidupan masa SMA itu sudah hampir ditinggalkan seluruh orang yang singgah untuk mendapatkan ilmu dari pembekalan materi pelajaran yang sudah dijadwalkan.
Pulang sebagai jadwal terakhir sekolahan belum juga Tara laksanakan dengan sempurna. Dengan wajah lesunya yang merutuki luka lecet pada lutut hingga memaksanya berjalan tertatih-tatih mendekati mobil Alphard hitam lengkap dengan supir yang bersiap menyambut kedatangan calon penumpangnya.
"Loh, Kakinya Non Tara kenapa?" Bapak setengah baya itu bergegas menghampiri majikan mudanya, membantunya untuk berjalan.
"Tidak apa-apa kok, Pak. Tadi Tara cuma jatuh pas olahraga."
"Oalah, Non Tara ini harusnya hati-hati. Nanti kalau kenapa-kenapa pasti Ibu sama Bapak bakalan sedih. Kalau berjalan itu juga tidak perlu tergesa-gesa. Alon-alon asal kelakon begitu loh, Non."
Suara khas Jauhari selaku supir setia keluarga Beatrice sudah kerap kali mengunjungi pendengarannya. Tara terkekeh kecil menyukai betapa lawaknya ekspresi Jauhari ketika menasehatinya. Itu tidak terlihat seram sama sekali, tetapi sangat lucu karena mungkin memang sikap dari penciptaannya. Dalam lubuk hati Tara, jujur ia senang memiliki supir seperti Jauhari. Supir yang sudah merangkap sebagai keluarga sendiri itu selalu menjaganya dengan baik juga petuah-petuah yang Tara terima darinya semuanya berguna.
Ya, pada dasarnya memang tidak penting siapa yang mengatakan, tapi seberapa penting apa yang ia katakan. Jadi, tidak memberikan diskriminasi Tara senang menerima nasihat ataupun teguran jika itu baik untuknya. Bukankah kita sebagai manusia adalah objek yang harus dinilai agar bisa menciptakan masa depan cerah dibandingkan kejadian sebelumnya yang sudah menjadi sejarah?
"Iya, Pak. Tara bakalan lebih hati-hati, kok," jawab Tara menyetujui opini Jauhari.
Dengan cekatan Jauhari terbiasa melaksanakan tugasnya, membukakan pintu mobil sebagai kemudahan bagi penumpang. Tara dulunya seorang menolak jika Jauhari melakukan hal itu. Terlalu berlebihan menurutnya. Tangannya masih lengkap dan berfungsi baik jika hanya sekedar membuka pintu mobil. Ia membatasi kebiasaan ketergantungannya pada kemudahan yang akan menjerumuskan pada kemanjaan dunia yang menomorsatukan kedudukan maupun kekayaan. Seorang Putri Raja yang berkuasa tidak terhitung dari banyaknya perintah yang dituruti para abdinya, tetapi seberapa banyak ia bisa dicontoh kebaikan budi pekertinya.
Sayangnya, argumen Jauhari lebih menyakinkan hati Tara agar menerima semua tindakan baktinya pada sang majikan. Ia berkata bahwa ia merasa buruk saat tidak bisa melakukan tugasnya dengan maksimal.
"Terimakasih, Pak." Ini juga yang membuat Jauhari betah bekerja hampir 7 tahun lamanya pada kepada keluarga Beatrice. Keluarga kecil itu tahu bagaimana caranya menghargai pekerjaan orang lain. Jauhari tetap diperlakukan dengan sopan meskipun ia hanya seorang supir.
Bagi Tara sendiri, didikan orangtuanya selalu benar untuk kebaikannya. Mereka mengajarkan bahwa harus tetap menghormati semua orang tidak peduli apapun latar belakangnya. Toh, pekerjaan supir adalah pekerjaan mulia. Tidak semua orang bisa memiliki pekerjaan itu. Selain kepiawaian dalam hal mengendara, supir juga membutuhkan jiwa setia sehingga dapat dipercaya oleh orang yang mempekerjakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tubby, I Love You! (Selesai)
Teen Fiction"Jikalau tubuh yang terlihat jauh dari kata sempurna, maka hati yang ku rasa sangat dekat dengan kata luar biasa." -Jodhi Saga Ginanjar Prawira. "Tidak ada yang bisa aku sombongkan, tetapi tidak semua harus aku sesalkan." - Tara Aponi Beatrice * * *...