18|| History

114 46 44
                                    

•Happy reading!•
B-)

'Jadikan aku sebagai peran penting dalam kisah kehidupanmu. Meskipun bukan tokoh utama, libatkan aku dalam setiap suka dukamu.'
~Jodhi Saga Ginanjar Prawira.

"I-Itu... Bagaimana bisa ada padamu?" Tangan Tara meraih dua benda itu. Ditelitinya lagi untuk menyesuaikan ingatan yang pernah terjadi.

Sebuah senyuman puas tergambar jelas pada raut wajah Jodhi. Tanggapan Tara sangatlah sesuai dengan apa yang ia harapkan tadinya. "Mungkin dulu aku bertemu Cinderella yang meninggalkannya dan ingin aku mengembalikannya pada masa depan." Sebelah matanya mengedip aneh, karena Jodhi bukan hanya satu kelopak saja yang tertutup, melainkan kelopak satunya juga susah untuk tetap terbuka.

"Aku kira ini sudah hilang. Sudah lama sekali aku tidak bisa menemukannya." Tara memiliki sebuah alasan sentimental mengapa ia sangat menyayangi kedua barang yang kini kembali ke dalam pelukannya setelah sekian lama berpisah. Botol minum dan buku itu merupakan awal pertama Mamanya mengenalkan pada Tara tentang menulis diary. Dan setelah buku itu menghilang, itu menjadi akhir dari semua curahan keluh kesahnya yang dituliskan di buku. Memendam semuanya sendiri dan menceritakannya  hanya kepada Tuhan jauh lebih baik untuk Tara.

"Itu tidak hilang, kau yang meninggalkannya waktu itu," tekan Jodhi sekali lagi.

"Ah, mungkin begitu. Tapi, aku masih belum ingat kronologi buku dan botol milikku bisa sampai padamu." Tara kecewa pada dirinya sendiri. Tentunya dengan meratapi nasibnya yang kurang baik saat dia masih berusia belia kala itu membuatnya terlalu terpaku pada kesedihan hingga mengabaikan lambaian kebahagiaan.

"Mau aku bantu mengingatkan?" Tawar Jodhi yang dijawab dengan anggukan penuh semangat oleh Tara.

"Waktu itu sepulang sekolah, terjadi perkelahian di taman belakang sekolah."

Mengikuti petunjuk yang didikte oleh Jodhi, otak Tara memulai perangsangan untuk bagian kenangannya menuju masa-masa awal SMP-nya. Masa-masa dimana ia sangat dalam terjerumus dalam kubangan lumpur penyiksaan takdir. Masa-masa dimana yang ia sangat bersyukur telah bisa ia tinggalkan.

Benar, masa-masa sulit terjadi saat Tara berada di bangku SD sampai SMP. Masa dimana maraknya perundungan yang menghujam dirinya. Tapi, jika salah satu masa itu ia bertemu Jodhi, seharusnya itu menjadi sebuah kenangan yang membahagiakan, bukannya Tara menangis seperti apa yang Jodhi bilang.

Semoga kenangan itu hanya akan membawa pembelajaran, bukan lagi kepedihan. Karena, Tara tidak lagi merindukan semua yang berbaur ketidakadilan.

Flashback on.

Posisi matahari sedikit lengser panasnya dari tepat atas kepala. Jam kala itu menunjukkan pukul 2.13 siang yang merupakan waktu dimana seorang gadis mulai berjalan tertunduk lemas seakan gairah kehidupan sudah diblokir sementara dari hidupnya.

Seharusnya dia sudah pulang saat ini. Seharusnya ia tidak lagi menjadikan sekolahan sebagai tempatnya berpijak lagi dikala jam pulang sekolah sudah membebaskan para murid beberapa menit lalu. Tapi, ia tidak diizinkan untuk itu.

Bukan tanpa alasan gadis bertubuh gempal itu terus berjalan menyusuri koridor. Ia seratus persen adalah manusia, bukan arwah penasaran yang menghuni sekolah elite ini. Tubuhnya sudah tidak lagi segar, keringat mulai mengering pada kain seragamnya. Sorot matanya yang redup menyiratkan banyak perasaan jauh dari kata baik-baik saja. Ada kesedihan yang mendominasi di antara ketakutannya itu. Beberapa buliran air mata masih kuat bertahan di selipan kelopak matanya.

Tubby, I Love You! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang