27|| Disease.

91 29 14
                                    

•Happy reading!•

\(0o0)/


'Sering kali kita merasa kesulitan melihat sebuah kebenaran meski telah membuka mata lebar-lebar. Cobalah untuk menutup matamu dan resapi bayangan yang tampak pada pikiranmu. Itu adalah hal yang kau pentingkan selama ini meski letaknya sangat jauh dari pandangan mata. Orang buta bukan berarti tidak tahu apa-apa.'

Keberlanjutan dari cerita sebelumnya adalah dimana yang kini pagi-pagi sekali Tara telah memaksakan dirinya untuk berkutat di dapur. Raga sang Mama terbaring lemah di atas ranjang besar dikarenakan adanya kambuhan dari penyakit yang bersarang dalam tubuh besarnya. Banyaknya pikiran dan lelahnya tubuh menyebabkan kambuhnya penyakit hipertensi yang dideritanya.

Tara menyeka keringat di pelipisnya setelah hampir setengah jam berjuang demi seporsi bubur ayam buatannya. Beruntungnya sang Mama tidak pernah membiarkan isi kulkas dan bahan makanan kosong sehingga kesulitan untuk mendapatkan sebuah makanan sehat tidak bertambah. Tara tersenyum setengah puas memandangi semangkuk bubur hasil kerja kerasnya yang sedikit lebih encer. Tapi, selagi itu tidak beracun, bubur itu tetap akan menjadi pilihan terbaik untuk saat ini.

"Aku masih buruk untuk menjadi anak yang berbakti," ratap Tara menyesali kemampuan memasaknya dan juga perjuangan untuk membahagiakan orangtuanya yang belum bisa tercapai.

Hembusan nafas panjang lewat melalui hidungnya. Diangkatnya perlahan nampan berisi segelas air putih dan semangkuk bubur ayam itu untuk ia persembahkan memenuhi gizi Mamanya sebelum mengonsumsi obat wajib Mamanya.

Sepelan mungkin Tara mendorong pintu kamar orangtuanya dengan lengannya. Mamanya terlihat masih memejamkan mata dalam dekapan rapat selimut. Langkah gadis itu berjalan mendekat ke arah ranjang. Ia letakkan nampan yang memenuhi genggaman tangannya di atas nakas. Tubuhnya ia dudukkan di pinggiran ranjang sebagai upaya mendekatkan diri pada Mamanya.

"Ma... Mama..."

Tara melakukan usaha membangunkan Mamanya dengan memberikan tepukan kecil pada lengan wanita itu. Biasanya, Mamanya lah yang sering membangunkan Tara dalam waktu terdesak. Namun, dari semalaman Tara dengan sepenuh hatinya menjaga sang Mama. Sebenarnya, ada Papanya juga yang hanya bisa berdiri di luar pintu kamar dengan rasa khawatirnya. Mamanya melayangkan permintaan agar Papanya tidak tampak dulu di hadapannya, itu bisa mengakibatkan peningkatan rasa sakit pada dirinya. Terhitung tiga malam ini Papanya mendiami kamar tamu sebagai tempat istirahatnya.

Mamanya yang sejatinya memang mudah tersadar mulai menunjukkan tanda-tanda akan bangun. "Ada apa, Nak?" Efek tubuhnya yang tidak sehat, itu ikut menyebabkan suara Estu serak dan lirih.

"Mama harus sarapan dan minum obat agar cepat sembuh."

Estu bergerak menegakkan punggungnya untuk bersandar pada dashboard. "Maafkan Mama, sayang. Mama tidak kuat bangun untuk membuat sarapan."

Tara menggeleng cepat tidak ingin Mamanya merasa bersalah. "Tara sudah membuat bubur, meski rasanya tidak seenak masakan Mama," ucapnya dengan malu-malu memperlihatkan bubur buatannya.

"Kau masak sendiri?" Tara mengangguk menanggapi keterkejutan Estu.

Tara adalah harta paling berharga bagi Estu. Ia memiliki sifat menjaga yang kental jika itu berkaitan dengan keselamatan dan kebahagiaan anaknya. Diraihnya tangan Tara mendekat pada penglihatannya. Jelas terlihat beberapa bekas luka tersayat pisau melukai jemari sang anak. Hati Estu berubah sendu. Putrinya berusaha untuk yang terbaik. Seharusnya situasinya bisa lebih baik agar dia bisa merawat kembali anaknya dengan baik.

Tubby, I Love You! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang