•Happy reading!•
:C'Semburat senja yang mengintip nanar lewat jendela
Ku tarik selimut lalu tenggelam bersama luka
Isak tangis yang berakhir tragis
Basahi bantal yang menjaga mimpi
Akhiri rutinitas hari dengan lelah hati
Aku terjebak sendiri
Menunggu kasih sayang dari mu, Sang Dewi'
~Tara Aponi Beatrice.π_π
Seminggu sudah berlalu sejak rumah ini berduka. Meski waktu berlalu begitu cepat, luka yang mengangga masih belum sembuh sepenuhnya. Kenyataan semua bukan tentang waktu, tapi sebagaimana kuatnya niat dan datangnya alasan baru sebagai lentera. Perasaan kehilangan masih gelap mencemari semangat untuk bangkit.Jelas jiwa yang kehilangan setelah perpisahan itu berubah. Tara sebagai contohnya. Gadis itu menjadi lebih pendiam dari sebelumnya. Lebih banyak melamun dan mengurung diri di kamar. Menangis tentunya menjadi ritual wajib sebelum tidur. Rindu yang ada semakin besar menggerogoti relung hatinya. Entah sampai kapan efek buruk ini berjalan. Apalagi liburan sekolah masih berjalan hingga dirinya tidak ada alasan harus berinteraksi dengan dunia luar.
Begitu juga dengan separuh jiwa dari Hendra yang kosong. Pria dewasa itu juga jarang tersenyum. Bicara seperlunya. Lebih protektif terhadap anaknya. Sering menangis diam-diam walaupun mengatakan semuanya baik-baik saja. Sebenarnya, Tara juga merasakan bagaimana Hendra lebih perhatian dari biasanya. Mungkin dia tidak ingin anaknya merasakan kekurangan kasih sayang. Sepulang kerja sang Papa membawakan makanan dan hadiah kecil untuk dirinya.
Tiwi masih tinggal di sana dengan beralasan merawat sang ponakan. Meski Hendra sudah berinisiatif untuk menyewa pembantu lain dan Tara juga mengatakan ia tidak perlu di jaga, tapi wanita itu mengatakan bahwa dirinya sangat khawatir pada anak dari mendiang sepupunya itu.
Tara melangkahkan kakinya membawa raganya untuk kembali ke rumah. Ia baru saja kembali dari minimarket dekat rumahnya dengan berjalan kaki demi membeli beberapa kebutuhan pangan yang habis. Jasa Jauhari sedang dipakai bibinya untuk mengantarkan wanita itu yang katanya harus pergi mengunjungi teman lamanya di sini. Fakta adanya jika tanpa Estu rumah mereka tidak terurus dengan baik seperti semula. Bahan makanan yang biasanya tidak pernah kehabisan, kini Tara harus membelinya sendiri. Tara bahkan mulai terbiasa melakukan pekerjaan rumah sesuai tuntutan bibinya. Mencuci, menyetrika, menyapu, serta bersih-bersih rumah lainnya sudah beralih tugas pada dirinya.
Tara tidak mengeluh. Mungkin lebih tepatnya ia tidak bisa untuk mengeluh. Mengeluh juga kepada siapa untuk saat ini? Pada Papanya hanya akan menambah beban pikiran kepala keluarga itu saja. Bibinya juga menekankan bagaimana dilarangnya dia menjadi pribadi yang lemah. Tara memutuskan untuk menjadikannya do'a untuk dikomunikasikan dengan Tuhannya. Dan sedikit membantu keberadaan Jodhi serta teman-teman lainnya yang selalu memperdulikannya.
"Permisi, Ibu-ibu." Tara meminta izinnya untuk lewat saat berpapasan dengan sekumpulan Ibu-ibu tengah berbincang-bincang di salah satu rumah tetangganya. Sebagai norma kesopanan ia juga menampilkan senyuman ramahnya.
"Eh, silahkan, Ra," jawab salah satu dari mereka.
"Dari mana, Mbak?" Tanya yang lainnya sekedar basa-basi seperti biasanya atau memang ingin tahu.
"Belanja di minimarket, Bu." Tara menjawab sekenanya sembari menunjukkan kantong plastik yang ditentengnya.
"Oh, kalau butuh apa-apa jangan sungkan untuk meminta bantuan pada saya, Mbak," ujarnya kemudian menimpali Tara.
Tara kembali tersenyum apa adanya menghargai niat saling membantu yang mereka lakukan. "Terimakasih banyak, Bu. Permisi." Setelah benar-benar yakin dirinya dibiarkan berlalu, Tara kembali berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tubby, I Love You! (Selesai)
Teen Fiction"Jikalau tubuh yang terlihat jauh dari kata sempurna, maka hati yang ku rasa sangat dekat dengan kata luar biasa." -Jodhi Saga Ginanjar Prawira. "Tidak ada yang bisa aku sombongkan, tetapi tidak semua harus aku sesalkan." - Tara Aponi Beatrice * * *...