Another black roses for you.
Bintang meremas kertas kecil yang didapatkannya di lokernya pagi ini, bersama sebuket mawar hitam, lagi. Terhitung sudah lima buket bunga yang diterimanya semenjak hari Jum'at lalu. Pembencinya itu selalu mengirim buket bunga dengan selang satu hari. Hari ini kirim, besoknya tidak, lusanya kirim lagi. Bedanya, kali ini bukan hanya buket bunga dan sampah-sampah, tapi juga sebuah note kecil yang bertengger di atas bunga tersebut.
Dengan satu gerakan lihai, Bintang melempar buket bunga itu ke tempat sampah di dekat lokernya dan whoosh!—benda itu masuk dengan mulus ke dalamnya. Gadis itu tersenyum kecil, puas dengan hasil lemparannya yang tepat sasaran. Selanjutnya, Bintang meraup sampah-sampah kertas dan makanan ringan di lokernya dan membuangnya ke tempat sampah yang sama dengan buket bunga tadi.
"Bintang?" Suara berat di belakang Bintang tidak terdengar memanggilnya. Nadanya justru terdengar heran dan ... terkejut?
Bintang menoleh ke arah sumber suara.
"Dewa?" Bintang meniru nada suara Dewa ketika tadi menyebut namanya. Cowok itu masih menenteng tasnya, tampaknya baru tiba di sekolah. "Loker lo yang mana?" tanya gadis itu lagi, celingak-celinguk seolah bisa menemukan loker Dewa.
"Loker gue nggak disini," jawab Dewa.
"Loh?" Bintang mengernyit. Bukannya semua loker anak kelas sepuluh ada disini? "Lo bukan...," ia tidak melanjutkan kalimatnya, sibuk menimbang-nimbang asumsinya dalam pikirannya sendiri.
"Bukan," kata Dewa, mengerti pertanyaan gadis itu mengarah kemana. "Gue kelas sebelas."
Bintang membekap mulutnya dengan sebelah tangan, terkejut dengan fakta yang baru diterimanya. Cowok ini kakak kelasnya.
Gadis itu menunjukkan cengiran kaku, sambil diam-diam berpikir keras.
Sekolah ini senioritasnya lumayan tinggi.
Dewa senior gue.
Jadi...,
Bintang berdehem kecil, lalu menatap lawan bicaranya. "Mmm... Kak Dewa?"
Dewa tertawa saat itu juga.
"Kenapa?" tanya Bintang, kali ini menunduk menyembunyikan wajahnya yang merah padam. "Salah, ya?"
"Nggak," Dewa berucap di sela-sela tawanya. "Cukup Dewa aja. Aneh denger lo ngomong gitu."
"Oke...," Bintang mengangguk paham. "Dewa," tambahnya.
"Nah, gitu kan lebih enak dengernya," tanggap cowok itu.
"Tapi apa yang salah sih, dari 'Kak Dewa'?" tanya Bintang, heran melihat lawan bicaranya itu tergelak. Kak Dewa. Kak Dewa. Bintang mengetes bunyinya dalam hati, memastikan apa ada yang ganjil dari dua kata itu jika disandingkan.
"Nggak sih," jawab Dewa. "Tapi kalo lo yang nyebut jadi aneh. Soalnya panggilan 'Kak' terdengar terlalu.... manis?"
"Terus kenapa kalo kedengarannya manis?" tanyanya lagi, heran. "Emang gue nggak boleh kedengaran manis?"
Cowok itu kembali tertawa, mendengar pertanyaan bernada tersinggung dari Bintang itu. "Nggak gitu," ujarnya. "Cuma aneh aja."
Bintang mendengus melihat Dewa puas menertawainya. "Plis, Dewa, berhenti ketawa," katanya kesal.
"Sori." Dewa tersenyum lebar. "Abis lo lucu."
"Heh," Bintang menghardik. "Gue nggak lucu." Ketika berkata demikian, ia bersungguh-sungguh. Gadis itu tidak sudi dibilang lucu, karena yang lucu hanyalah lelucon dan dirinya jelas bukan lelucon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Teen FictionMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...