Setiap orang pasti pernah mempertanyakan "kenapa" dalam hidupnya. Misalnya, "kenapa kita harus bangun pagi di hari Senin?" atau "kenapa kita bernafas lewat hidung dan berbicara dengan mulut, bukan sebaliknya?". Dalam kasus ini, Bintang punya pertanyaannya sendiri—kenapa Langit bisa tau nomor ponselnya?
Kira-kira 15 menit sebelum bel pulang berbunyi, ponsel Bintang berdenting menandakan pesan masuk. Bu Anjani, yang sangat peka terhadap suara asing saat jam pelajarannya, menoleh sekilas pada Bintang. Untung saja, saat itu Bintang sedang benar-benar menyalin catatan dari papan tulis sehingga Bu Anjani tidak menaruh curiga padanya.
Barulah setelah Bu Anjani melengos keluar kelas bertepatan dengan bel pulang berdering, Bintang membaca pesan singkat itu.
Sender: +62853-5063-5472
MOS hari pertama. Gue tunggu di perpus, pulang sekolah.
Tanpa pikir panjang lagi, Bintang tau pesan itu pasti dari Langit. Segera dirapikannya buku-buku yang berserakan di atas meja, lalu bergegas pergi ke loker. Namun, tak lupa pamit pada Thalia sebelum itu, karena Bintang tidak mau temannya itu mengamukinya kalau terjadi apa-apa.
"Pulangnya jam berapa?" tanya Thalia, tidak lagi bersikap overprotektif seperti biasa. Sejak insiden hari Senin itu, ia mulai menaruh sedikit kepercayaan pada Bintang.
"Nggak tau. Mungkin sorean," jawab Bintang. Tanpa sadar, gadis itu menghela nafas. "Wish me luck, Thal."
Thalia tersenyum geli melihat tingkah temannya itu. "MOS-nya sama Kak Langit, ya? Kayaknya bakal ribet," godanya.
Bintang mendorong bahu Thalia pelan. "Lo gitu, ah."
Mau tidak mau, Thalia terkikik. "Lagian lo, sih. Siapa suruh bolos MOS waktu itu?" ledeknya lagi, disambut muka memberengut dari Bintang.
Sekali lagi, Bintang menghela nafas. "Kalo aja gue tau MOS susulan itu ada, dan yang ngawasin gue itu setan dari neraka paling bawah, sumpah gue bakal ikut MOS waktu itu."
"Siapa yang lo bilang setan dari neraka paling bawah?"
Bintang dan Thalia serempak menoleh ke arah sumber suara itu. Keduanya lantas bungkam, mendapati Langit berdiri dalam jarak kurang dari satu meter dari mereka. Cowok itu kembali ke wujud aslinya—seperti saat pertama kali Bintang lihat; rambut berantakan, dasi tidak disimpul, seragam tidak dimasukkan—simpelnya, Langit terlihat urakan.
Thalia menyengir lebar, dan menunduk sekilas pada Langit. Lalu, perlahan ia menoleh pada Bintang. "Gue ... duluan ya, Bintang?" pamitnya dengan setengah berbisik. Tanpa menunggu persetujuan Bintang, Thalia bergegas menjauh dari tempat itu sejauh-jauhnya.
"Ternyata lo juga setan dari neraka kedua terbawah, Thal," rutuk Bintang, saat Thalia melengos seenaknya, membiarkannya terjebak dalam situasi canggung ini dengan Langit.
"Oh, ya?" Langit mengangkat sebelah alisnya, pura-pura penasaran. "Terus yang dari neraka paling bawah siapa dong?"
Bintang mendengus mendengar pertanyaan itu. "Pake nanya lagi. Bukannya udah jelas, ya?"
Langit mengedikkan bahu, menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan hal itu. "Lo nggak baca SMS gue, atau lo nggak tau perpustakaan dimana?" tanyanya, membelokkan pembicaraan.
"Baca dan tau. Tapi sebelum gue sempat kesana, lo udah keburu nyamperin kesini," jawab Bintang. "Lo dapat nomor gue darimana?"
Langit mendengus, seolah Bintang menanyakan hal terbodoh yang pernah ditanyakan oleh manusia di muka bumi. "Apa, sih, yang nggak bisa gue dapetin?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Fiksyen RemajaMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...