30. Mengerti

5.2K 492 175
                                    

Keesokan harinya, Bintang berjalan di koridor sekolah pagi-pagi sekali. Ada tugas yang belum diselesaikannya karena ketiduran semalam, jadi dia memutuskan untuk berangkat lebih pagi dari biasanya untuk mengerjakan tugas tersebut di kelas sebelum bel masuk berbunyi. Namun langkahnya terhenti sebelum menaiki anak tangga menuju ke kelasnya. Seseorang yang dikenalnya tengah berdiri di sudut lain tangga, menatapnya lamat-lamat.

Bintang menelan ludah. "Alvian," sapanya.

Alvian hanya berdecih, dengan cepat menuruni tangga untuk kemudian berlalu begitu saja, seolah tidak melihat Bintang. Namun, entah mendapat keberanian darimana, gadis itu menahan tangan Alvian.

"Kamu... tinggal sama siapa sekarang?" tanya Bintang.

Alvian menepis tangan Bintang. "Bukan urusan lo."

Bintang terdiam sesaat sebelum memutuskan untuk berbicara lagi. "Aku... minta maaf. Meskipun nggak bisa ngembaliin apa-apa yang sudah hilang, aku minta maaf."

"Gue nggak bakal maafin lo sampai lo ngerasain apa yang gue rasain."

"Kamu nggak boleh seenaknya menilai. Kamu pikir cuma kamu yang menderita setelah kecelakaan itu? Kamu pikir kamu aja yang kehilangan?" ucap Bintang dengan bergetar. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, dia akhirnya melontarkan apa yang selama ini ditahannya terhadap Alvian. "Kamu boleh sedih kehilangan Tante Sarah, tapi kamu harus ingat bukan cuma kamu yang sedih. Aku juga sama, Alvian."

"Bullshit. Bullshit," desis Alvian. "Kalau lo memang sebegitu menyesalnya, kenapa lo nggak pernah nyari gue setelah kejadian itu? Lo malah lari. Lo berusaha ngelupain semuanya. Tindakan lo itu pengecut, tau nggak?"

Bintang tahu. Bintang sepenuhnya tahu yang selama ini dilakukannya hanya lari dari kenyataan. Setelah kejadian itu, Bintang kembali ke rumah Oma-nya, ke tempat semestinya dia berada. Dia tidak lagi membahas tentang ayahnya, Tante Sarah, maupun Alvian. Seolah mereka berempat tidak pernah tinggal bersama dan semua yang telah terjadi hanya salah satu mimpi buruknya saja.

Sebegitu bulat tekad Bintang melupakan semuanya sampai pada saat pemakaman ayahnya dan Tante Sarah pun dia tidak datang. Benar kata Alvian, tindakannya pengecut.

Bintang diam, tidak mampu membalas perkataan Alvian. Dengan begitu, Alvian memutuskan bahwa pembicaraan mereka sudah selesai. "Gue bakal bikin lo ngerasain gimana rasanya jadi gue," katanya sebelum pergi.

Sepeninggal cowok itu, kaki Bintang mendadak lemas. Kepalanya pening. Kilasan-kilasan balik tentang ayahnya, Alvian, dan Tante Sarah menyeruak dalam ingatannya. Bercampur aduk antara memori baik dan buruk. Bintang terduduk di anak tangga terbawah, memegangi kepalanya yang terasa berputar.

"Bintang?"

Panggilan itu tidak lagi dihiraukannya. Bintang memejamkan mata, menahan sakit kepalanya yang tiba-tiba berlipat ganda. Kemudian yang ada di dalam bayangannya adalah sosok Alvian yang dulu sering berbagi cerita dengannya. Yang dulu menemaninya berbincang ketika sulit tidur di malam hari. Yang dulu merayakan kelulusannya dari sekolah dasar bersama-sama.

Kemudian sosok Alvian yang menangis, meraung memanggil namanya di saat kecelakaan malam itu. Sosok Alvian yang kebingungan mencari pertolongan. Sosok Alvian yang ditinggalkannya, dilupakannya. Hingga menjelma menjadi Alvian yang ditemuinya barusan. Alvian yang asing, dengan sorot mata yang seolah jijik padanya. Menyimpan dendam. Menyimpan kecewa yang mendalam.

Setelah itu semuanya menjadi gelap dan Bintang tidak ingat lagi apa yang terjadi sesudahnya.

***

Ketika Bintang membuka mata, yang pertama kali dilihatnya adalah plafon berwarna putih. Kemudian suara yang begitu akrab di telinganya menyapa. "Gimana keadaan lo?" tanyanya. Itu suara Dewa.

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang