Pagi hari berikutnya Bintang duduk di meja makan sambil mengolesi roti di tangannya dengan selai cokelat. Oma di seberang meja menyeduh secangkir teh untuknya dan segelas susu untuk Bintang. Karena pagi ini tidak terburu-buru, Bintang menyempatkan untuk sarapan bersama sang nenek.
"Oma, kemarin, selain Thalia, ada yang mampir, nggak?" tanya Bintang memulai percakapan, sekaligus berusaha menggali informasi atas kemunculan setangkai mawar hitam dengan nama Alvian di kamarnya.
"Nggak ada," jawab Oma. "Kenapa?"
"Oh, nggak papa kok. Nanya aja," kata Bintang cepat agar Oma tidak curiga dan bertanya lebih jauh. Gadis itu menggigit setangkup roti di tangannya, sementara Oma mengangsurkan segelas susu kepadanya. "Thalia kemarin ngapain, Oma?"
"Ngambil buket bunga pesanan ibunya," jawab Oma.
Bintang mengangguk-angguk. Ibu Thalia memang salah satu pelanggan tetap toko bunga Oma sejak lama.
Pagi ini cukup tenang. Tidak seperti pagi-pagi biasanya, di mana suasana di luar rumah sudah riuh oleh suara pemotong rumput dari petugas kebersihan komplek, cekikikan ibu-ibu yang sibuk ngerumpi saat mengerubungi tukang sayur keliling, atau riuh anak-anak sekolah dasar yang bersepeda menuju sekolah. Pagi ini tidak ada keributan di luar—yang terdengar hanya suara pembawa acara berita di TV ruang keluarga yang mengabarkan bahwa sebentar sore hujan akan turun deras.
Oma yang baru saja menyesap tehnya tiba-tiba berdiri. "Sebentar," katanya, kemudian pergi ke kamar dan kembali dengan sebuah payung lipat di tangan. "Ramalan cuacanya bakal hujan. Kamu hati-hati, ya."
"Sip, Oma," ucap Bintang seraya menerima payung lipat berwarna biru tersebut. Kemudian gadis itu teringat sesuatu, lantas berkata, "Oma, kayaknya sebentar Bintang bakal pulang telat deh. Soalnya mau bantuin Dewa kerja tugas dulu."
"Iya, nggak papa. Asal pulangnya jangan kemaleman, ya," pesan Oma.
"Oke deh." Bintang mengacungkan jempol. Kemudian gadis itu menghabiskan roti dan susunya, lalu pamit berangkat ke sekolah. Oma mengantarnya sampai ke pintu ruang tamu.
Bintang berjalan menuju ke halte bus di persimpangan jalan. Dipandanginya sekitar, tidak biasanya kompleks tempat dia tinggal setenang ini di pagi hari. Saat menunggu bus di haltepun, Bintang masih kepikiran. Tenang yang tidak wajar seperti ini biasanya akan memunculkan badai.
Bintang mendadak jadi gugup menjalani harinya. Firasatnya tidak enak.
***
Begitu bel istirahat berbunyi, Bintang mendapati Langit di depan kelasnya. Cowok itu menunggu sembari bersandar di dinding kelas dan memain-mainkan pulpen di tangannya sampai tidak sadar ketika Bintang menghampirinya.
"Lo ngapain di sini?" tegur Bintang, membuat Langit sedikit terlonjak dan pulpen di tangannya terjatuh.
"Katanya sebentar lo sama Dewa mau ngerjain tugas, ya?" tanya Langit sembari membungkuk mengambik pulpennya.
Bintang mengangguk. "Kenapa?"
"Batalin ya?" Langit memohon. "Please."
"Kenapa? Ini buat tugasnya Dewa, loh."
"Iya, gue udah ngomong sama Dewa, tapi dia ngotot nggak mau dengerin gue. Jadi gue nggak punya pilihan lain," jelas Langit. "Batalin ya, Bintang?"
"Kenapa?" tanya Bintang lagi.
"Susah ngejelasinnya." Langit mengacak-acak rambutnya. "Pokoknya batalin."
Bintang hanya memutar kedua bola mata. Setelahnya, Langit menepuk sebelah pundak gadis itu dan pamit pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Teen FictionMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...