Kenangan terawal Bintang tentang Alvian adalah sewaktu dia berumur 11. Waktu itu ayahnya sudah satu tahun resmi menikah dengan Tante Sarah. Selama itu, Bintang tidak pernah tahu kalau Tante Sarah punya anak, sampai suatu hari muncul anak laki-laki di depan pintu saat Bintang berkunjung ke rumah ayahnya dan Tante Sarah—Bintang sudah pindah ke rumah Oma sejak kedua orang tuanya bercerai, dia tidak ingin ikut salah satunya.
Anak laki-laki di depan pintu itu tersenyum lebar. Sebuah ransel besar dipikulnya di pundaknya yang kurus. Matanya sayu. Di belakangnya, seorang wanita bertubuh gempal menerobos masuk ke ruang tamu—bahkan sebelum Bintang mempersilakannya masuk. "Mana Sarah?" Pertanyaan wanita gempal itu lebih terdengar seperti sebuah sentakan. Bintang mundur selangkah dari tempatnya berdiri.
Tante Sarah datang dengan langkah terburu-buru dari lantai atas. "Ada a—" Tiba-tiba perkataannya terputus melihat wanita itu. "Mbak Santi?"
Wanita yang dipanggil Mbak Santi oleh Tante Sarah itu menjatuhkan koper yang sejak tadi dibawanya, menimbulkan suara bedebum yang keras di lantai. "Jangan kira kamu bisa lepas dari tanggung jawab kamu, ya, Sarah!"
Pertengkaran orang dewasa. Bintang sudah akrab dengan hal itu sejak kecil. Hal yang dilakukan Bintang ketika itu terjadi adalah menjauh sejauh-jauhnya. Namun sebelum sempat Bintang mengambil langkah, sebuah tangan mencegatnya. Bintang menoleh, menatap anak laki-laki yang masih berdiri di depan pintu.
"Bintang, ya?" Bintang hanya mengangguk dan anak itu lalu menyodorkan tangannya. "Alvian."
Bintang menatap kedua orang dewasa yang sedang berargumen dan Alvian secara bergantian, berusaha mencari benang merahnya. Pasti ada hubungan antara Tante Sarah, Alvian, dan wanita gempal bernama Santi itu. Bintang baru hendak menghubungkan semua hal di dalam kepalanya saat si Mbak Santi itu meneriakkan faktanya;
"Kamu nggak bisa seenaknya, Sarah! Mau anak haram atau bukan, Alvian tetap anak kamu!"
***
Bintang membuka lokernya pelan-pelan, ada rasa was-was yang menghinggapi dirinya. Tidak ada lagi kiriman buket Mawar hitam. Sejak kemunculan Alvian di hadapannya, dia tidak lagi menerima buket bunga. Pun Alvian tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya.
Namun hal itulah yang membuat Bintang gelisah. Ini terasa seperti fase the calm before the storm. Apapun kejutan yang menantinya di depan, Bintang belum siap. Tapi masalahnya, kejutan itu dapat datang kapan saja, di mana saja.
"Bintang?"
Bintang menoleh dan mendapati Thalia berderap ke arahnya. Temannya itu baru datang, tanpak jelas dari wajahnya yang masih setengah mengantuk. "Hei, Thal." Bintang menjawab.
"Ngapain bengong di situ?" Thalia melongokkan kepala ke dalam loker Bintang, yang sejak tadi menjadi objek pandangan gadis itu. "Nggak ada yang aneh-aneh lagi, kan?"
"Nggak, nggak ada," tukas Bintang cepat, bahkan terlalu cepat sehingga Thalia tahu ada sesuatu yang salah.
"Bintang." Thalia meletakkan kedua tangannya di bahu Bintang, menatap sahabatnya itu lurus-lurus.
"Serius, Thal, gak ada apa-apa. Lo liat sendiri, kan?"
Thalia menggeleng—bukan itu yang poin yang ingin diutarakannya. "Kalau ada apa-apa, cerita, ya. Jangan disimpan sendiri."
Bintang tidak menanggapi. Meskipun Thalia melabelinya sebagai sahabat, Bintang tidak melakukan hal yang sama. Dia hanya menganggapnya teman dekat yang selalu berusaha bersikap baik padanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Fiksi RemajaMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...