22. Ajakan

5.7K 648 25
                                    

"Ini apa?"

Langit mendongak dari tugas Matematika yang sedang dikerjakannya begitu Dewa menyelenong masuk ke dalam kamarnya. Adiknya itu memasang raut datar, suaranya tenang, namun ada sesuatu dari dirinya yang terasa mengecam. Dewa menaruh beberapa lembar foto di samping bukunya. Foto Langit dan Bintang yang tadi siang beredar di sekolah.

Langit mengalihkan pandangan dari foto itu ke Dewa. "Lo dapat juga?"

"Satu sekolahan juga dapat," tanggap Dewa sembari mengambil posisi duduk di ujung tempat tidur Langit. Langit sendiri memutar kursi belajarnya mengarah ke tempat tidur, kali ini sepenuhnya melupakan tugas Matematika-nya.

"Ini gak seperti kelihatannya," ucap Langit. Dia menilik foto-foto di tangannya. Langit masih ingat sore itu, Bintang terbangun dengan napas tersengal-sengal, menangis karena bermimpi buruk, dan kalap memeluknya. Dan yang terpampang di foto itu sama sekali tidak merepresentasikan situasi saat itu sehingga orang bisa saja salah paham. Dan kenyataannya, orang-orang memang salah paham.

"Gue gak ngerti," kata Dewa.

"Dewa, lo gak percaya omongan orang-orang, kan?"

Dewa menggeleng. "Gue pengen denger langsung dari lo."

"Oke, biar gue jelasin." Langit berdiri dari tempat duduknya, melangkah mendekati adik tirinya itu dan memegang kedua pundaknya. "Ini waktu MOS hari keduanya Bintang. Dia ngantuk banget, jadi kita istirahat sebentar di auditorium."

Dewa diam, menyimak.

"Terus tu anak ketiduran. Pas bangun tahu-tahu nangis, gak jelas kenapa. Dia ngeracau, minta maaf sambil nyebut-nyebut nama..." Seketika Langit terdiam. Dia teringat satu nama itu.

"Nama siapa?" Tapi tanpa Langit menjawab pun, Dewa sudah tahu jawabannya. "Alvian?"

"Lo tahu?"

"Waktu itu lo sempet nanya soal Alvian, kan?" Dewa bertanya balik, tanpa memedulikan pertanyaan Langit. "Apa karena racauan Bintang itu?"

"Iya, karena itu."

Dewa mengangguk-angguk kecil. Ia sedikit paham sekarang.

"Oke. Jadi lo sama Bintang gak ada apa-apa, kan?" tanya Dewa lagi, mengonformasi. "Bintang gak jual diri atau semacamnya, kan? Semua omongan orang itu gak bener?"

Langit mengangguk mantap. "Sama sekali gak bener."

Dengan begitu, Dewa beranjak dari kamar Langit, berniat kembali ke kamarnya. Namun di ambang pintu, cowok itu berhenti. Ia berbalik kepada Langit, "Oh, iya. Satu lagi."

Langit yang sudah kembali duduk di kursi belajarnya mendongak, menaikkan sebelah alis seolah bertanya Apa?

"Lo gak ada perasaan apa-apa sama Bintang, kan?"

Ditanya begitu, Langit terdiam. Sejurus kemudian dia tertawa keras seolah perkataan Dewa barusan adalah lelucon paling konyol yang pernah didengarnya. "Udah, sana lo, gue mau lanjut ngerjain tugas," katanya setelah tawanya mereda.

Dewa mengedikkan bahu, lalu menutup pintu kamar Langit dan berlalu. Sepeninggal Dewa, Langit kembali terdiam. Ia bukan tertawa karena pertanyaan Dewa lucu.

Namun karena Langit sendiri tidak tahu jawaban untuk pernyataan itu.

***

"Ini ulah Alvian."

Pernyataan itu dilontarkan Thalia setelah berulang kali melihat foto-foto yang ada di tangannya. Bintang di sebelahnya hanya diam, meski dalam hati dia menyetujui perkataan temannya itu. Memang sejak awal, Bintang sudah tahu dalang dari semua kekacauan tadi adalah Alvian.

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang