32. Langit dan Angin Malam

207 39 13
                                    

Bintang berdiri di depan ruang ICU dengan penampilan yang kacau. Rambutnya basah sisa terkena hujan sore tadi. Seragamnya yang lembab ditutupi oleh jaket hitam milik Langit. Gadis itu menunduk, tidak berani menatap siapapun, terlebih cowok yang berada di sampingnya.

Langit mengusap wajahnya untuk kesekian kalinya hari ini. Matanya merah. Amarahnya sudah di puncak kepala, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika menerima panggilan telepon dari Thalia tadi, dia sudah tahu sesuatu yang buruk telah terjadi. Dan benar. Segera setelah dia meninggalkan rapat OSIS untuk menerima panggilan tersebut, berita buruk itu sampai padanya. Dewa tidak sadarkan diri di halaman belakang sekolah. Parahnya lagi, Dewa bersama Bintang—gadis yang sudah dia minta untuk membatalkan rencananya bersama Dewa.

Thalia juga ada di sana, menenangkan ibu Dewa yang tidak berhenti menangis sejak menginjakkan kaki di rumah sakit. Bintang sudah menemui beliau, sudah bersimpuh di kakinya, meminta maaf atas kelalaiannya yang menyebabkan Dewa terkapar di ICU saat ini. Ibu Dewa tidak menanggapi, hanya terisak. Bintang sudah siap menerima kalau-kalau beliau hendak menamparnya. Dia pantas mendapatkannya.

Langit membawa Bintang menjauh dan meminta tolong pada Thalia untuk menemani ibunya, sementara dia hendak berbicara empat mata dengan Bintang. Thalia menyanggupi. Bintang juga tidak banyak berkata ketika Langit menuntunnya pergi dari sana.

Mereka berdua sampai di rooftop rumah sakit yang sepi. Angin malam berhembus pelan ketika Langit membuka pintu besi yang menyekatnya. Hanya ada mereka berdua di sana.

Langit berdiri rapat dengan dinding pembatas, tidak peduli seragamnya yang putih kotor oleh debu tembok. Di bawah, pendar lampu kendaraan yang memadati jalan terlihat silau. Samar-samar terdengar deru mesin kendaraan dan klakson yang bersahut-sahutan.

"Maaf," ucap Bintang pelan, hampir berupa bisikan. Itu adalah pertama kalinya gadis itu berbicara padanya sejak tadi. Angin lewat meniup helaian rambut panjangnya yang terurai tidak beraturan, membuatnya makin berantakan.

Langit mengangkat wajahnya dari jalanan di bawah, menatap Bintang. Kepala gadis itu masih tertunduk. Anak-anak rambutnya jatuh menutupi wajahnya. Langit menyelipkan rambut Bintang ke belakang telinga lalu mengangkat dagu gadis itu agar menatapnya. "Tahu salah lo apa?" tanya Langit.

Bintang kembali menunduk, tidak sanggup membalas tatapannya. Biasanya gadis itu akan mengelak, membantah, atau membuat Langit jengkel, namun kali ini ia tahu posisinya salah. Ia pantas mendapatkan cacian, amarah, dan hal-hal buruk lainnya yang hendak Langit lontarkan padanya.

"Kenapa nggak dengerin gue?" tanya Langit lagi.

Bintang mengatupkan bibir, mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya buka suara. "Dewa pengin banget nyelesaiin tugas itu."

Giliran Langit yang terdiam. "Lo tahu Dewa sakit?" tanyanya setelah beberapa saat.

Bintang mengangguk. "Gue udah bilang buat nunda tugas itu waktu tahu dia demam. Tapi Dewa nggak mau."

Langit memejamkan mata sembari mengembuskan napas panjang. "Dewa sakit, Bin. Sakitnya parah sejak kecil." Cowok itu mulai bercerita. "Dia punya penyakit jantung bawaan."

Bintang mendengarkan dengan seksama. Ditemani hembusan angin malam, Langit bercerita dengan gamblang kondisi Dewa yang selama ini disimpannya baik-baik dari siapapun.

Awal mereka bertemu, Dewa baru berumur delapan. Anak itu ceking, sorot matanya waspada, dan senantiasa mengekori ibunya kemanapun beliau pergi. Waktu itu, ibu Dewa dan ayah Langit sudah akan menikah dan mereka berdua diperkenalkan dengan harapan akan menjadi akrab setelahnya. Tapi baik Dewa maupun Langit sama-sama butuh waktu untuk menerima keberadaan satu sama lain. Setelah pernikahan berlangsung dan mereka tinggal serumahpun, keduanya tetap berjarak.

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang