20. Perpustakaan

6K 687 33
                                        

Setelah insiden mimpi buruk di ruang auditorium sore itu, Bintang menghindar sebisa mungkin dari Langit. Bayangkan saja bagaimana malunya Bintang mengingat sore itu dia ketakutan hanya karena mimpi buruk, menangis seperti anak kecil, dan yang paling parah, memeluk Langit.

Mau ditaruh di mana mukanya kalau dia bertemu Langit saat ini?

Saking larutnya dalam pikirannya sendiri, Bintang tidak sadar kalau dia telah melenceng jauh dari tempat tujuannya semula—gerbang sekolah. Jam pelajaran sudah usai dan Bintang tidak punya kegiatan tambahan lainnya. Namun, kedua kakinya malah membawanya ke depan pintu perpustakaan.

Kenapa jadi ke sini? kesal Bintang pada dirinya sendiri. Gadis itu langsung memutar arah dan melangkah kembali ke gerbang sekolah. Tapi baru di langkah kedua, langkahnya terhenti.

Dia teringat akan Dewa dan buku Kos—apapun judulnya itu—yang belum sempat dibacanya. Mungkin menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah sambil membaca buku itu pelan-pelan bukan ide yang buruk?

Setelah menimbang-nimbang sejenak, Bintang akhirnya berderap masuk ke perpustakaan.

Dari balik meja administrasi, Ibu Penjaga Perpustakaan mendongak saat mendengar pintu berdecit terbuka. "Pintunya ditutup lagi ya, Nak," pesan beliau sebelum kembali fokus ke komputernya. Bintang mengangguk seraya melepaskan kedua sepatunya, menaruhnya di rak kayu yang terdapat di sebelah pintu (mengingat di pintu perpustakaan tertempel kertas yang bertuliskan "ALAS KAKI DIBUKA" dengan jelas).

Perpustakaan siang ini tetap sepi, tapi tidak sesunyi biasanya. Terdapat dua orang murid—perempuan dan laki-laki—yang sedang membersihkan rak-rak buku yang berdebu di sudut perpustakaan—Bintang tidak mengenali mereka, tapi sepertinya dua-duanya kakak kelas. Yang membuat suasana menjadi tidak sesunyi biasa adalah, si murid perempuan beberapa kali menjatuhkan tumpukan buku yang disusunnya, juga percakapan-percakapan kecil di antara keduanya.

Tapi keributan kecil itu bukan masalah bagi Bintang. Dikeluarkannya buku astronomi dari dalam tas—buku yang minggu lalu dipinjamnya dari perpustakaan karena taruhan iseng dengan Dewa. Omong-omong, ternyata judul buku itu Kosmologi.

Bab pertama membahas hubungan matahari dengan bumi. Bintang sudah menguap di paragraf kedua—dia tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya bisa menghabiskan dua ratus halaman buku itu. Mungkin dia akan kalah—Bintang dari awal juga tidak berambisi untuk menang.

Tapi apa itu berarti dia menyerahkan diri begitu saja pada Dewa?

Tidak, Bintang tidak segampangan itu. Dengan tekad baru, dia kembali menyusuri kata demi kata yang berada di halaman tersebut.

Seharusnya Bintang sadar sejak awal resiko apa yang ditanggungnya dengan menerima taruhan itu. Tapi waktu itu Dewa menawarkan tantangan dan Bintang suka tantangan. Dia tidak memikirkan kemungkinan bahwa menghabiskan satu buku astronomi adalah sesuatu yang sulit.

"Hei, di sini juga, ternyata." Seseorang menepuk pundak Bintang, membuatnya refleks mendongak. Didapatinya Dewa sedang membuka ranselnya dan duduk di samping Bintang. "Baru mulai baca?" Dewa kembali bersuara, menunjuk buku yang sedang dibaca Bintang.

"Gue kira kita nggak boleh ngomong sebelum salah satu dari kita menang?" Bintang mengingatkan.

Alih-alih menjawab, Dewa mengeluarkan buku dongeng Pinokio dari dalam ranselnya. "Gue nggak betah baca beginian," katanya sembari menyodorkan buku itu pada Bintang. "Gue kalah, deh."

Sontak, mata Bintang melebar mendengar pernyataan Dewa itu. "Serius, Wa?" tanyanya tidak percaya. Bintang sudah hampir menyerah, untung saja Dewa lebih dulu mengaku kalah.

Dewa mengangguk sebagai jawaban.

"Tapi kenapa?" Bintanf mengernyit heran. "Perasaan lo doyan baca, deh. Kok disuruh baca buku dongeng tipis kayak gini langsung nyerah?"

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang