Sejak pertama kali melihatnya, Dewa tahu Bintang berbeda. Bagaimana tidak, hanya Bintang satu-satunya yang berani melawan Langit di hari pertama sekolah. Bukan hanya itu, dia bahkan tidak repot-repot mengikuti masa orientasi dan tidak sibuk berkenalan sana-sini dengan teman-teman dan lingkungan baru. Gadis itu tampaknya sudah cukup nyaman dengan seorang temannya yang lengket seperti perangko—yang kalau Dewa tidak salah ingat bernama Thalia.
Adalah sebuah keberuntungan bagi Dewa saat Bintang tanpa sengaja menabraknya di pintu perpustakaan di hari pertama sekolah. Bukan cara berkenalan yang baik—itu pun kalau bisa dihitung berkenalan—tapi setidaknya Bintang tahu dia ada. Dewa cukup puas dengan itu sampai pertemuan mereka berikutnya di halte bus, saat mereka benar-benar berkenalan.
Bintang bukan tipe orang yang mudah disukai; dia sinis, sarkastik, tidak pedulian. Dia tidak pandai berteman atau mengungkapkan kata-kata manis yang menyanjung orang lain—dia jujur, meskipun kejujurannya kadang bikin sakit hati. Tapi, justru sisi negatif Bintang yang menonjol itulah yang membuat Dewa tertarik padanya. Karena sekarang, Dewa sudah jarang menemukan orang yang nyaman menjadi dirinya sendiri.
Maka dari itu, Dewa berniat melindungi gadis itu (meski yakin 100% Bintang tidak butuh dilindungi) dari orang-orang yang berpotensi memiliki niat jahat padanya—seperti orang itu. Dewa melihatnya pagi ini, menyelipkan sesuatu di loker Bintang saat dikiranya tidak ada orang yang melihat. Dengan sigap dikuncinya lagi pintu loker Bintang dan berlalu dengan santai seolah yang barusan dilakukannya adalah hal lumrah.
Dewa berdecih. Sudah pasti kunci loker itu didapatkannya dari Pak Iqbal, pemegang kunci serep loker-loker siswa, dengan menyogok beberapa rupiah sebagai imbalannya. Hal itu jelas perbuatan ilegal dan jika pihak sekolah tahu, maka akibatnya fatal bagi si pelaku maupun Pak Iqbal. Namun seperti larangan tidak tertulis, tidak ada seorang pun yang berani mengadukan tindakan Pak Iqbal ini.
Jadi, saat Bintang datang dan menemukan buket bunga berwarna hitam di lokernya pagi ini, Dewa segera menyambarnya dan membuangnya ke tempat sampah. "Nggak usah dipeduliin," pesan Dewa pada Bintang sebelum beranjak. Sebenarnya ia ingin berbicara banyak, namun terdiam lagi mengingat taruhan yang mereka lakukan.
Mereka tidak boleh contact-an sebelum salah satunya menang, kan?
Tapi yang Dewa tidak tahu, sebelum ia mengambil buket bunga itu, Bintang sudah terlebih dulu membaca note kecil yang datang bersamanya. Dan Bintang ingat persis apa isinya.
Lab Biologi, pulang sekolah.
***
Selepas bel pulang berbunyi, Bintang sudah menetapkan keputusannya. Ia akan menemui si pengirim bunga misterius itu. Tapi sebelumnya, ia akan menemui Thalia dulu dan meminta temannya itu untuk ikut bersamanya. Karena sejujurnya, Bintang takut pergi sendirian, namun rasa penasarannya lebih besar dibanding rasa takut itu.
Sebelum beranjak ke kelas Thalia, sebuah pesan masuk ke ponsel Bintang.
Sender: Thalia
pulang bareng ya, tungguin gue. lo dimana?To: Thalia
di kelas. lo?
tapi kayaknya gue mau mampir ke lab biologi dulu deh sebelum pulang. temenin yaSender: Thalia
masih di lab fisika
oke.Bintang melangkah menuju laboratorium Fisika, yang terletak di sayap kiri sekolah, berdampingan dengan laboratorium lainnya—termasuk laboratorium Biologi.
Itu artinya, ada kemungkinan orang itu telah berada di sana.
Sayap kiri sekolah sepi, sebagian besar murid sudah berpindah ke koridor loker atau pelataran parkir untuk bergegas pulang. Satu-satunya kelas yang masih melaksanakan pembelajaran adalah kelas Thalia—karena guru Fisika mereka, Pak Nas, suka kebablasan kalau mengajar hingga lupa waktu. Bahkan beliau tidak peka terhadap bel sekolah yang nyaring.
Sembari menunggu Thalia, Bintang berjalan-jalan mengitari area laboratorium yang lain. Area laboratorium ini sudah diperlihatkan oleh Langit ketika MOS hari pertama dulu sehingga Bintang sudah lumayan familiar.
Bintang mengintip ke dalam laboratorium melalui jendela-jendela kaca yang transparan. Rupanya area laboratorium tidak benar-benar kosong seperti dugaannya tadi, terbukti di dalam Laboratorium Kimia masih ada beberapa murid kelas XI yang nongkrong di dalam. Mungkin anggota KIR.
Ketika melintasi pintu Laboratorium Kimia, papan kayu itu berayun terbuka. Dewa keluar dari sana, masih dengan kepala tertoleh ke belakang untuk pamit kepada teman-temannya. "Duluan ya," ucapnya sembari menyimpul tali sepatunya. Saat mendongak, pandangannya berserobok dengan Bintang.
Bintang tersenyum kikuk, tidak tahu harus menyapa atau kabur, meski ia lebih suka kabur karena Bintang tidak ingin berbicara dengan Dewa saat ini.
"Jangan bilang lo datang ke sini karena pesan itu," kata Dewa sambil berdiri di hadapan Bintang untuk menghadang langkah gadis itu. "Gue kan udah bilang, nggak usah dipeduliin."
Bintang ingin mengelak, namun rasanya bertingkah sedikit menyebalkan kepada Dewa menarik untuk dicoba. "Anggap aja gue nggak dengar perintah lo."
"Bintang, gue serius. Jangan—"
Sebelum Dewa menyelesaikan kalimatnya, seseorang datang menginterupsi. Dengan tepukan tangan perlahan, orang itu berhasil membuat Bintang menoleh. "Wah, wah," ujarnya dengan senyuman sinis di wajahnya.
Dari sudut matanya, Dewa melihat Bintang mundur selangkah dari tempatnya berdiri tadi.
"Gue kan bilang lab Biologi, kenapa malah nunggu di lab Kimia?" Cowok itu memasukkan tangan ke saku celananya. "Bareng adeknya ketos lagi." Dia mengerling ke arah Dewa dengan sorot menghina.
Bintang diam, tidak menjawab, dan malah memperhatikan orang di hadapannya itu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Celananya kepanjangan, sehingga ujungnya kotor terinjak sepatu converse-nya yang penuh noda dan talinya tidak disimpul. Kemeja seragamnya lebih kotor lagi, penuh coretan pulpen dan sedikit piloks meski hari kelulusan masih lama. Dan rambutnya, jangan ditanya, sudah sangat melewati batas yang ditentukan sekolah.
Dewa menanggapi lebih dulu. "Dia nggak nunggu lo."
Dia berdecih. "Kenapa ikut campur? Ini urusan gue sama dia," tegasnya, menunjuk dirinya kemudian Bintang.
"Jangan ganggu dia," kata Dewa lagi, kali ini lebih kalem.
Tidak memedulikan Dewa, orang itu mengalihkan perhatian pada Bintang. Senyum miring di wajahnya mengembang sementara kedua tangannya dimasukkan ke saku celananya yang kumal. Dia mengangkat sebelah alisnya. "Apa kabar, Bintang?" tanyanya kasual, seolah mereka teman lama yang baru bertemu.
Bintang terperangah, tidak percaya. Di antara sekian banyak kemungkinan, dia tidak pernah memperhitungkan orang ini sebagai salah satunya. Orang ini sudah jauh terkubur di dasar benaknya sehingga sangat mustahil muncul ke permukaan apalagi menjelma menjadi sosok nyata yang berdiri tegak di hadapannya.
Bintang meneguk ludah, menatap lurus tepat ke manik mata orang itu. Keberaniannya penuh, namun suaranya hilang entah kemana. Ia tidak bisa menjawab sepatah katapun pertanyaan—atau tepatnya, kalimat sinis yang dilontarkan kepadanya.
Orang itu balas menatapnya tajam lalu kembali berbasa-basi busuk, "Udah lama, ya, kita nggak ketemu."
Saat menemukan suaranya, Bintang akhirnya angkat bicara. Menggumamkan nama orang itu, nama yang dipikirnya sudah tidak akan lagi ada sangkut pautnya dengannya. "Alvian?"
______
A/N (ini curhatan, skip aja nggak penting):
Jujur, aku sempat berpikir untuk berhenti nulis cerita ini. Tapi nggak jadi. Karena di saat semua hal berlomba-lomba bikin aku nggak waras, cerita ini yang bikin aku tetap bertahan. Dia kayak bilang, "jangan gila dulu, aku belum selesai."
So, here's the new chapter. Makasih udah baca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Dla nastolatkówMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...