Hari ini Bintang janjian dengan Dewa untuk mulai mengerjakan tugas akhir Bahasa tentang hujan. Mereka memutuskan untuk memulai riset dengan mencari buku-buku referensi di perpustakaan sekolah—berhubung pengamatan langsung belum bisa dilakukan karena belakangan ini cuaca sedang terik-teriknya.
Bintang menunggu di salah satu meja baca sembari bolak-balik mencari judul yang pas dijadikan referensi. Dewa sempat mengirim pesan tadi, berkata bahwa pelajaran Fisika di kelasnya agak molor dan sepertinya akan datang terlambat.
"Ngapain?" tanya sebuah suara membuat Bintang mendongak. Langit sedang berdiri tidak jauh darinya, memegang sebuah buku tebal yang sepertinya adalah bank soal.
"Ngumpulin referensi," jawab Bintang seraya mengecek ulang buku-buku referensi yang telah dikumpulkannya di meja di hadapannya.
Langit mengangguk-angguk kecil. "Sendirian?" tanyanya lagi.
"Iya, nih," ucap Bintang. "Tapi bentar lagi Dewa dateng kok."
"Oh."
Bintang kemudian mengacuhkan keberadaan Langit lalu kembali menelusuri rak buku yang tadi belum sempat dijamahnya. Karena tidak menemukan buku lagi, dia kembali ke meja baca tempatnya menaruh buku. Langit masih di sana, duduk di kursi kosong di sebelah tempatnya.
"Lo sendiri ngapain di sini?" tanya Bintang kemudian duduk di sebelah Langit.
Akhir-akhir ini Bintang dan Langit sudah tidak seperti air dan minyak lagi. Keduanya sudah sama-sama berkepala dingin dan tidak lagi saling adu mulut atau cekcok setiap bertemu.
"Niatnya sih mau ngerjain soal," ujar Langit sembari menunjukkan buku bank soal di tangannya. "Tapi nggak jadi."
"Kenapa?"
"Karena ada lo. Gue jadi nggak bisa napas dengan benar."
"Apa sih."
"Abis lo make udara banyak banget. Itu lubang hidung apa terowongan sih, gede amat."
Ternyata yang tadi bukan gombalan.
Bintang lantas mendorong Langit. "Udah keluar aja lo, ganggu aja," katanya ketus.
Langit tertawa karenanya. "Kok marah, sih? Emang pengin gue gombalin beneran?" godanya.
"Ya enggak lah."
"Kalo sama lo, nggak usah pake gombal-gombalan kali. Langsung ngasih bukti."
"Iya, iya, terserah," kata Bintang acuh tak acuh. Dia membuka-buka buku di hadapannya secara asal, mencari pengalihan dari Langit di sampingnya yang sepertinya otaknya sedang geser.
"Eh, eh, Bintang." Langit menggeser tubuhnya mendekat. Nada suaranya merendah, seperti sedang membicarakan rahasia. "Si Mei, teman kelas lo, apa kabar?"
Mei, teman kelas Bintang yang tergila-gila pada Langit dan sempat ribut dengan Bintang karena mengira gadis itu menjalin hubungan dengan Langit. "Kenapa lo nanya-nanya Mei?" Alis Bintang naik sebelah. "Kangen?"
"Mungkin," jawab Langit asal. Beberapa detik kemudian senyumnya mengembang. "Hell no. Nggak lah. Ya kali gue kangen sama cewek psycho kayak dia."
"Emang lo udah nggak pernah digangguin lagi?" tanya Bintang. "Astaga, iya ya. Mei kan udah punya pacar."
"Masa?" Langit tampak terkejut. "Siapa?"
"Kak—siapa sih namanya? Yang tinggi itu?"
"Emang yang tinggi di sekolah cuma satu?" kata Langit sarkastik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Fiksi RemajaMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...