Auditorium sekolah tampak sepi siang ini. Ruangan ini jarang sekali dipakai—hanya dipakai untuk acara-acara formal saja yang melibatkan orang tua seperti graduasi atau pentas seni tahunan sekolah. Selain itu, murid-murid menggunakan aula di koridor utama yang ukurannya lebih kecil dan lebih pas untuk acara-acara lainnya, seperti seminar atau demo ekskul.
Begitu penjelasan panjang dari Langit yang masuk di telinga kanan Bintang dan keluar di telinga kiri.
"Ngantuk, ya?" tanya Langit saat memergoki gadis itu menguap untuk ketujuh kalinya di tengah-tengah penjelasannya. Dia berhenti melangkah dan sepenuhnya menatap Bintang di sampingnya.
"Nggak kok," elak Bintang. "Lanjutin aja."
Langit menggeleng. "Mau cuci muka dulu?" tawarnya. Tidak biasanya dia sebaik ini.
Bintang tetap bersikeras. "Gue nggak ngantuk."
"Atau mau beli minum?"
"Nggak."
"Mau duduk sebentar?"
"Dibilangin juga gue nggak ngantuk," tegas Bintang. Namun bersamaan setelah itu, dia kembali menguap. "Oke, mungkin sedikit."
Bintang memang mengantuk. Semalam dia baru bisa tidur lewat tengah malam, itu pun karena Bintang memaksakan diri menutup mata. Alhasil dia hanya tidur beberapa jam sebelum berangkat ke sekolah. Untung tidak terlambat.
Tanpa bicara apa-apa, Langit duduk di kursi audience terdepan di auditorium itu. Bintang hanya diam di tempat, menatapnya dengan kening berkerut. "Ngapain?"
Seharusnya Langit melanjutkan penjelasannya mengenai auditorium, kemudian mereka akan berpindah ke bagian sekolah yang lain agar MOS hari ini cepat selesai dan Bintang bisa segera pulang.
Langit menepuk kursi kosong di sebelahnya. "Sini, duduk," katanya. Karena Bintang tidak punya cukup tenaga untuk berdebat, dia menurut saja.
Bintang berderap mendekat dan duduk di samping Langit. Dia menyandarkan punggungnya dan menutup mata, beristirahat sejenak. Ini yang sejak tadi dibutuhkan Bintang.
"Istirahatnya sepuluh menit aja, ya," ucap Langit sembari melirik jam yang melingkari sebelah tangannya.
"Hm."
Detik berikutnya, auditorium menjadi hening. Yang didengar Langit hanya deru napas Bintang yang beraturan. Sembari menunggu, laki-laki itu bermain game di ponselnya.
"Udah sepuluh menit." Selang sepuluh menit kemudian, Langit buka suara, memecahkan keheningan yang sejak tadi melingkupi mereka. Karena tidak kunjung menerima jawaban, dia menengok. "Bintang?"
Yang dipanggil ternyata sudah tertidur pulas. Bintang menopang kepala dengan sebelah tangannya yang bertumpu di lengan kursi. Raut wajahnya damai, sama sekali tidak merepresentasikan Bintang yang galak yang selama ini Langit kenal. Melihatnya, Langit jadi gemas ingin mencubit pipinya.
Tapi tentu saja tidak dilakukannya, takut membangunkan gadis itu. Sebagai gantinya, Langit menurunkan tangan yang menjadi tumpuan kepala Bintang, dan menyandarkan kepala gadis itu di pundaknya.
Begini saja untuk MOS hari kedua rasanya tidak masalah.
***
Bintang tidak ingat bagaimana dia bisa berada di sini. Yang diingatnya, sejak tadi kedua kakinya terus berlari menerobos gelapnya malam. Tidak ada suara, tidak ada cahaya. Senyap. Tiba-tiba rasa takut menyelimutinya. Tidak, Bintang tidak takut gelap. Dia takut kesepian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Teen FictionMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...