"Bintang, bangun."
Bintang menyipitkan mata, menghalau sinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui jendela kamarnya. Oma telah duduk di sisi tempat tidur, menyibakkan selimut yang Bintang kenakan agar gadis itu bangun. Hari Minggu memang selalu menjadi hari bermalas-malasan untuk Bintang, tapi sepertinya tidak untuk Oma, karena neneknya itu tetap membangunkan Bintang di pagi hari seperti hari-hari biasanya.
"Bangun, Sayang. Udah hampir jam delapan," ucap Oma, sembari menepuk-nepuk pelan lengan cucunya.
Bintang menguap lebar. "Jam delapan itu masih subuh, tau," racaunya, sebelum membalikkan badan membelakangi Oma.
Oma tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Sembarangan kamu," ujar wanita berusia kepala enam itu. Tangannya yang berkeriput mengusap-usap kepala Bintang pelan. "Bangun, Bintang."
"Oma, ah." Dengan amat berat hati, Bintang mengambil posisi duduk di tempat tidurnya. Kedua matanya masih menyipit. Alisnya bertaut. Rambutnya berantakan.
Oma tersenyum, lalu bangkit dari tempatnya duduk. "Hari ini kamu bantuin Oma di toko bunga, ya. Mbak Indah lagi libur."
Bintang menguap sekali lagi. "Loh, kenapa toko bunga tetap dibuka?" tanyanya heran.
"Kamu lupa ini hari apa?" tanya Oma, memastikan. Ada senyum dalam nada suaranya.
"Hari Minggu," jawab Bintang tanpa ragu.
"Astaga, cucu Oma. Masih muda kok pikun." Oma mengecup puncak kepala Bintang sebelum berlalu. "Oma tunggu di toko, ya," ucap beliau.
Bintang bergeming di atas tempat tidur, masih memikirkan apa yang dilupakannya sehingga Oma berkata demikian. Neneknya memang begitu, selalu membiarkan Bintang mencari tahu kekeliruannya sendiri dan menyelesaikan kekeliruan itu sendiri. Itu proses pendewasaan diri dari Oma yang diterapkan padanya agar kelak Bintang tidak perlu bergantung pada orang lain. Agar kelak, Bintang dapat berdiri di atas kakinya sendiri.
Gadis itu melontarkan pandangan ke kalender meja di atas nakas. Seketika ia tersenyum kecil, puas karena berhasil mengetahui letak kelupaannya.
Minggu, 28 Juli telah dilingkari Oma dari jauh-jauh hari.
"Batalin semua rencana kamu hari itu, kosongin jadwal kamu. Kamu harus bantuin Oma di toko." Perkataan Oma beberapa minggu yang lalu terngiang di kepala Bintang.
Hari ini peringatan hari jadi Oma dan mendiang Opa yang ke-42.
Bagai baru disuntikkan semangat, Bintang menyingkap selimut yang masih menutupi setengah tubuhnya lalu turun dari tempat tidur dan segera bersiap-siap untuk membantu Oma di toko bunga.
***
"Bintang, kamu mau Oma ajarin cara motong tangkai bunga?" Oma menawarkan, sambil tetap fokus pada beberapa tangkai bunga yang sedang dipangkasnya.
"Nggak, Oma," tolak Bintang cepat. "Bintang jaga kasir aja."
Seorang wanita muda memasuki toko, lalu berbicara pada Oma. Oma dengan segera melupakan bunga yang tadi dipangkasnya, dan berjalan ke sudut toko untuk menunjukkan sebuah bunga pada wanita itu.
Tidak lama kemudian, muncul seorang gadis kecil dari balik pintu toko. "Bunda!" teriaknya pada wanita muda tadi. Tapi, teriakannya tidak diigubris karena wanita tadi tengah hanyut dalam percakapannya dengan Oma. Ia sedang sibuk memilah-milah beberapa buket bunga di tangannya.
"Hei," sapa Bintang pada gadis kecil itu. "Mau coklat?"
Gadis berkuncir kuda itu menoleh, lalu segera memasang senyum lebarnya sembari mengangguk. "Mau!" ucapnya girang. Ia berlari kecil ke arah Bintang, membuat kucir rambutnya bergoyang ke kanan-kiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Подростковая литератураMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...