Saat jam istirahat, Bintang beranjak menuju perpustakaan dengan membawa kotak bekal berwarna biru muda. Gadis itu menoleh ke kanan-kiri, berusaha menemukan orang yang dicarinya di antara segelintir siswa yang menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan. Beruntungnya, Bintang mendapatinya sedang memilah buku di depan sebuah rak.
"Dewa!" panggil Bintang dengan agak terlalu keras, membuat beberapa siswa yang sedang duduk di meja baca sempat menoleh. Bintang menunduk kecil sembari mengulum senyum tanda meminta maaf.
Dewa yang melihat tingkah Bintang itu tidak bisa menahan senyum. "Dasar toa," ledeknya, ketika gadis itu sudah berdiri di sampingnya. "Ngapain disini?"
"Nyari lo. Oma nitip ini," jawab Bintang sembari menyerahkan kotak bekal yang dibawanya. "Tadi pagi dia keingat lo pas lagi masak, jadi sekalian dibikinin. Emang rada aneh si Oma."
Senyum Dewa kian melebar ketika menerima kotak bekal itu. "Bilang makasih ya, buat Oma."
"Oke," gumam Bintang sembari mengedarkan pandangannya menyusuri setiap detil perpustakaan. Ini pertama kalinya ia benar-benar memasuki ruangan itu selama beberapa bulan bersekolah di sana. "Lo tiap istirahat kesini? Nggak bosen?" tanya Bintang refleks.
Pasalnya, hanya ada rak-rak kayu tinggi yang berisi buku sejauh mata memandang.
"Nggak tiap hari juga, sih, cuma kalo lagi bosen aja," jawab Dewa. Setelah menemukan buku yang dicarinya, ia berjalan ke salah satu meja baca dan Bintang mengekori. Gadis itu mengambil tempat duduk di depan Dewa.
"Suka baca, ya?" Bintang menunduk sedikit, berusaha membaca judul buku yang sedang dibaca Dewa. "Spac—apaan, nih? Tebel banget. Nggak pusing bacanya?"
Dewa mengangkat buku tersebut agar Bintang dapat membaca judulnya. Encyclopedia of Space and Astronomy karya Joseph A. Angelo. "Nggak dibaca semua kok. Cuma bab-bab yang menarik."
"O... oke." Bintang hanya mengangguk-angguk kecil, tidak mengerti apa menariknya ensiklopedia tebal yang memuat hal-hal rumit seperti itu. Tapi sepertinya Dewa cinta hal itu. "Berat, nggak?" tanya Bintang lagi. Namun sebelum Dewa sempat menjawab, gadis itu buru-buru memperjelas pertanyaannya. "Bukan isinya, ya. Gue beneran nanya berat bukunya."
Dewa mendengus geli lalu menyerahkan buku itu kepada Bintang. "Coba aja sendiri," katanya. Bintang mengambil buku itu dengan satu tangan. Lumayan berat.
Bintang mengembalikan buku itu kepada Dewa. "Berani taruhan, buku itu lebih berat dari tasnya Langit," gumamnya tanpa sadar.
Mereka terdiam selama beberapa detik, menatap satu sama lain sebelum akhirnya tawa keduanya meledak. Pengunjung perpustakaan lalu kembali memusatkan perhatian kepada mereka berdua; bahkan Ibu Penjaga Perpustakaan memberi isyarat dengan menempelkan jari telunjuk ke bibir, menyuruh mereka diam.
"Kok jadi Langit?" tuding Dewa, dengan sisa senyuman di wajahnya. Ia menatap Bintang di sebelahnya yang kini berubah salah tingkah.
"Yah ... nggak tau." Bintang mengedikkan bahunya. "Tiba-tiba keingat," jawabnya asal, sementara Dewa masih menatapnya dengan seringai dan alis terangkat sebelah. "Apa sih, Dewa!" hardik Bintang galak, membuat Dewa terpingkal, puas melihat muka merah padam menahan malu.
"Lo sama Langit lucu. Kalo ketemu berantem mulu, tapi pas lagi nggak bareng malah saling kepikiran," kata Dewa. "Lo tau? Di rumah, Langit juga sering keceplosan kayak gitu. Bintang inilah, Bintang itulah."
Bintang tercenung sesaat, lupa akan fakta kalau ia sedang berbicara dengan adiknya Langit. "Gue heran sama kalian. Katanya saudara, tapi kok nggak mirip?" tanyanya sambil menilik Dewa. Dari manik mata saja, perbedaan yang terlihat sudah jelas. Mata Dewa cokelat terang dan teduh, sedangkan milik Langit hitam pekat dan tajam—dan jangan lupa, menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
أدب المراهقينMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...