Tidak seperti keenam temannya yang lain, yang hari itu juga menjalani masa orientasi susulan mereka yang pertama, Bintang malah disuruh pulang oleh Langit setelah terpaksa menyetujui ketiga aturan yang diberikan kepadanya.
"Pulang sana," usir cowok itu lalu kembali menggulir newsfeed di ponselnya.
Bintang yang sejak tadi menatap Langit dengan tatapan tidak suka, kini mengernyit. "Loh, gue nggak diajak jalan-jalan keliling sekolah?" tanyanya bingung. Bukannya Bintang ingin jalan-jalan keliling sekolah dengan Langit, hanya saja teman-temannya yang lain kini tengah sibuk mengitari area sekolah dengan pengawas mereka masing-masing.
"Sekarang terlalu ramai. Nggak asik," ucap Langit dengan sudut bibir yang ditarik ke atas, membentuk sebuah senyuman picik. "Nanti kita cari waktu jalan-jalan yang pas, kalo sekolah lagi sepi."
Bintang bergidik ngeri mendengar balasan tersebut.
Tanpa menghiraukan Langit lagi, ia bergegas keluar dari aula. Dalam hati, Bintang bersyukur cowok itu tidak memulai masa orientasi saat itu.
***
"Kata Dokter Mar, besok Oma udah boleh pulang."
Bintang mendongak, menatap neneknya yang tengah asik menonton TV. "Serius, Oma?" tanyanya. Saat itu juga, Bintang melupakan PR Matematika yang sejak tadi dikerjakannya dengan dahi berkerut.
Oma mengangguk. "Katanya Oma udah bisa dirawat di rumah. Asal nggak terlalu capek dan banyak minum air putih," ucapnya. "Terus ada obat tambahan dari dokter. Resepnya ada di dekat TV. Jangan lupa kamu ambil, ya."
Bintang mengangguk, menanggapi Oma.
"Oh iya. Biaya rumah sakit gimana?"
"Dicover sepenuhnya sama asuransi Oma," jawab Bintang. Ia menutup buku PR-nya lalu memandang ke sekeliling ruang rawat. "Kalo gitu aku beresin barang-barang Oma, ya."
Bintang mengepak semua barang yang ada di nakas, di lemari dan di meja lalu memasukkannya ke dalam koper hitam yang bertengger di sudut ruangan. Hanya butuh belasan menit, ruang rawat itu kembali tampak kosong seperti sedia kala.
"Kamu kayaknya senang banget mau pulang ke rumah," komentar Oma, melihat cucunya sangat antusias membereskan barang-barang.
"Iyalah," Bintang menutup restleting koper, lalu menyandarkannya di dinding dekat pintu. "Bintang kangen bantal guling di kamar," katanya sambil mengambil posisi duduk di samping tempat tidur Oma.
Oma tergelak. "Kamu ini." Ia mengelus puncak kepala gadis itu. Dirasakannya rambut panjang cucunya yang halus, walau berantakan karena Bintang jarang sekali memperhatikan rambutnya.
Tok.. tok..
Bintang dan Oma menoleh secara bersamaan ke asal sumber suara. Pintu ruang rawat inap diketuk dengan pelan. Bintang melirik jam dinding dan benda itu menunjukkan jam 08.45. Artinya jam besuk sudah habis.
"Siapa yang datang malam-malam begini?" tanya Oma, mewakili kebingungan mereka berdua.
Bintang menggeleng sambil mengedikkan bahu. "Mungkin perawat," katanya.
Namun ketika pintu berayun terbuka, mereka berdua lantas terkejut.
Dewa.
"Eh iya, bener yang ini," ucap cowok itu, kepada seorang perawat di sampingnya. "Makasih ya, Mbak An."
Perawat itu tersenyum lalu pamit padanya. Dewa melepaskan sneakers abu-abunya dan melangkah masuk ke dalam. Bintang terdiam, masih terlalu kaget untuk merespon.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Teen FictionMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...