Bintang melangkah tergesa menuju aula. Bel pulang sudah daritadi berbunyi, namun ia sibuk membahas tugas Sejarah bersama teman sekelompoknya. Tenggat tugas tersebut masih seminggu lagi, tapi teman-teman Bintang bersikeras ingin membahasnya saat itu juga agar tugas itu cepat selesai.
Semua orang sudah berkumpul di aula saat Bintang masuk. Mereka yang mendengarkan pidato sambutan dari kepala sekolah dengan kompak menoleh saat menyadari kehadiran Bintang di ambang pintu aula. "Sori telat," ucap Bintang disertai cengiran konyol. Sedetik kemudian ia menyesal melontarkan kalimat barusan. Ini acara formal, Bego. Nggak sopan ngomong begitu.
Kepala sekolah berdehem. "Ya, silakan masuk," titahnya, kemudian melanjutkan pidatonya tentang pentingnya mengikuti masa orientasi. Bintang berderap ke tempat duduk paling ujung kanan yang kosong dan duduk di sana. Ia merasakan tatapan tajam dari kakak-kakak kelas yang berdiri di belakang dengan tangan bersedekap di depan dada, namun Bintang memilih untuk tidak peduli.
Ada 6 orang yang akan mengikuti MOS susulan seperti dirinya—4 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Tidak ada satupun yang Bintang kenali. Dengan memasang wajah datar, Bintang berpura-pura menyimak pidato Pak Kepsek.
"Sssttsss." Bintang menoleh, mendapati gadis di sebelahnya menyikutnya. "Bintang, kan?" tanya gadis itu dengan berbisik. Pipi tembamnya yang merah tampak menggemaskan, membuat Bintang mau tidak mau tersenyum.
"Iya," jawabnya. "Lo?"
"Dyan," jawabnya. Pandangan matanya masih terfokus kepada Pak Kepsek yang pidatonya belum selesai-selesai. Ia tidak mau jika ketahuan mengobrol, karena kakak-kakak OSIS berjumlah kurang lebih 10 orang mengawasi gerak-gerik mereka dari belakang. "Lo yang waktu itu ditarik-tarik sama Kak Langit di halaman depan, kan?"
Sial. Bintang meringis. Ternyata emang benar berita itu pernah beredar.
"Kamu, yang terlambat," Tiba-tiba, kepala sekolah menoleh kepada Bintang. "Kenapa tidak ikut MOS?"
"Eh--saya?" Bintang gelagapan, tidak siap ditanyai hal itu. "Mmm, saya sakit, Pak. Iya, sakit," tuturnya, sembari berusaha terlihat meyakinkan.
Namun Pak Kepsek malah menunjukkan raut tidak percaya. "Ada surat sakit?"
Gadis itu menggeleng.
"Kenapa nggak bikin?" tanya kepala sekolah lagi.
"Lupa, Pak." Sekali lagi, Bintang menyengir bodoh.
Pak Kepala Sekolah berdecak sambil menggeleng-geleng kecil, setelah itu bangkit dari tempat duduknya. "Ya, dengan ini saya resmi membuka kegiatan MOS susulan. Selanjutnya, saya serahkan kepada panitia."
Kakak-kakak OSIS yang sejak tadi berdiri di belakang, kini berderap maju menghampiri kepala sekolah. Mereka menyalami pria berdasi itu secara bergantian sembari mengucapkan terimakasih karena telah meluangkan waktu untuk memberikan kata sambutan. Setelah kepala sekolah telah benar-benar meninggalkan aula, salah seorang kakak OSIS angkat bicara.
"Perkenalkan, saya Alya Renata. Sekretaris umum OSIS, sekaligus ketua panitia untuk acara ini," ucap gadis itu dengan anggun, sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas almamater sekolah.
Bintang mengamati para pengurus OSIS yang kini berjejer di hadapan mereka bertujuh. Dan ternyata, perhitungannya tadi salah. Ia kira ada sebanyak sepuluh orang pengurus, namun ternyata hanya ada tujuh orang yang berdiri di sana. Dan sialnya, salah satunya adalah Langit. Cowok itu berdiri di paling ujung kiri sembari memainkan ponsel.
"Jadi MOS susulan ini akan berlangsung selama seminggu—berbeda dengan MOS sesungguhnya yang hanya berlangsung tiga hari. Namun karena waktu dan tempat yang tidak memadai, jadi kalian akan di-MOS secara terpisah," jelas Renata.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Fiksi RemajaMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...