35. Hangat

158 36 34
                                    

Sudah seminggu Bintang tidak keluar rumah. Tempat terjauh yang dikunjunginya adalah toko bunga, untuk mengecek keadaan Oma, menanyakan apakah beliau butuh bantuan. Selebihnya ia habiskan di kamar, mencari informasi tentang sekolah yang menerima murid pindahan di waktu seperti ini melalui internet, dan kadang-kadang menangis jika kepalanya terasa ingin pecah.

Kepada ibu Dewa, ia meminta maaf tidak bisa datang menjenguk selama beberapa waktu. Ia menjelaskan dengan gamblang kondisinya saat ini kepada beliau, sebelum beliau mendengarnya dari Langit. Sebelum beliau berbalik membencinya dan melarangnya dekat-dekat dengan kedua putranya lagi.

"Bintang?" Oma mengintip dari balik pintu kamar Bintang yang dibukanya setelah mengetuk pintu beberapa kali.

"Ya, Oma?" Bintang mengangkat wajahnya dari layar laptop, sembari menghapus sisa-sisa tangisnya tadi yang masih meninggalkan jejak di pipinya.

Tatapan mata Oma berubah khawatir, namun beliau memilih untuk tidak membahasnya. "Sudah makan, Sayang?" tanyanya.

"Bentar aja, Oma," jawab Bintang. "Oma udah?"

Oma menggeleng. Beliau kemudian membuka pintu kamar Bintang lebih lebar dan berderap masuk. Oma duduk di tempat tidur Bintang sembari mengelus pelan rambut panjang cucunya itu yang belakangan ini lebih sering terlihat berantakan.

"Kamu jangan sedih terus-terusan, ya," kata Oma.

Bintang hanya mengangguk pelan. Gadis itu mendekatkan diri kepada Oma, memeluk tubuh yang renta itu. Ia membenamkan wajahnya di pundak Oma untuk beberapa saat, merasakan satu-satunya tempat di dunia yang paling aman untuknya saat ini. Ia tidak ingin kehilangan Oma.

Ponsel Bintang berdering menandakan panggilan masuk, membuat ia dan Oma menoleh. Bintang mengendurkan pelukannya kemudian melihat layar ponselnya. Nama ibu Dewa terpampang di sana. Jantung Bintang langsung berdegup lebih cepat, tidak siap menerima kabar apa yang dibawa oleh panggilan telepon tersebut.

Bintang menatap Oma, seolah meminta dukungan moral. Oma mengelus pundak Bintang pelan, meyakinkan cucunya itu bahwa semua akan baik-baik saja.

Setelah menghela napas panjang, Bintang menerima panggilan tersebut. "Ha—halo?" sapanya ragu-ragu.

"Hai, Bintang," sapa suara serak di seberang sana. Itu bukan suara ibu Dewa.

"Dewa!" Pikiran-pikiran buruk Bintang yang sejak tadi menghantui luruh ketika suara itu terdengar. Bintang tersenyum, senyum pertamanya dalam seminggu belakangan ini.

"Sibuk, ya? Lama banget nggak main ke sini," kata Dewa.

"Kalau gue ke sana juga lo tidur mulu," kata Bintang. Kalau diingat-ingat, ia tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu dengan Dewa sejak cowok itu keluar dari ruang ICU. Saat Bintang datang membesuk, Dewa pasti sudah terlelap. Mereka juga tidak banyak bercakap via telepon sebab Dewa belum bisa terlalu banyak memainkan ponsel.

"Udah baikan belum, Bin?" tanya Dewa.

Mendengarnya, Bintang mengulum bibir. "Lo udah tahu?"

"Udah," jawab Dewa. Mendengar helaan napas Bintang, cowok itu menambahkan, "Mama yang cerita."

"Gue udah mendingan kok," jawab Bintang. Itu adalah jawaban yang jujur. Semenjak mendengar suara Dewa, rasanya harapan hidupnya kembali membumbung. Ia jadi punya alasan untuk bangun di pagi hari lagi.

"Nah, main ke sini dong," kata cowok itu. Bintang dapat merasakan senyuman dalam nada suaranya. "Kangen."

Bintang menyetujui tanpa berpikir. "Nanti sore, ya. Jangan tidur!"

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang