Sepulang dari mengerjakan tugas Langit, Bintang langsung masuk ke kamarnya. Dia merebahkan tubuh di tempat tidur, memandang langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Selang beberapa detik kemudian, gadis itu memejamkan mata.
Tok tok tok
Ketukan di pintu kamarnya itu menarik Bintang kembali ke alam sadarnya. Dia membuka matanya yang mulai berat, menengok ke arah pintu yang perlahan membuka. Di baliknya, tampak Oma yang membawa segelas susu hangat.
"Kamu ganti baju dulu baru tidur," kata Oma sambil menaruh gelas susu yang dibawanya di meja belajar Bintang. "Habisin, ya."
"Iya, Oma," jawab Bintang lalu menguap.
"Itu jendelanya jangan lupa ditutup," pesan Oma sebelum menutup pintu kamar Bintang.
Kening Bintang mengernyit. Jendela? Gadis itu yakin betul tidak membuka jendela hari ini. Namun ketika dia menengok ke sisi kamarnya, jendela itu terbuka lebar. Tirai yang biasa menutupi benda itu melambai-lambai tertiup angin malam.
Dengan langkah gontai, Bintang turun dari tempat tidurnya untuk menutup jendela tersebut. Namun seketika langkahnya terhenti. Matanya melotot kaget. Rasa kantuknya menguap seketika melihat sesuatu yang teronggok di bingkai jendela kamarnya.
Di sana, terdapat setangkai mawar hitam yang entah darimana datangnya.
***
Bintang tidak bisa tidur nyenyak semalam.
Itulah mengapa pagi-pagi sekali, bahkan sebelum Oma sempat membuatkannya bekal makan siang, Bintang sudah rapi dalam balutan seragamnya. Oma sampai mengernyit heran melihatnya.
"Bintang pengen berangkat lebih cepat," katanya disertai senyum lebar sebelum Oma sempat bertanya—dan jawaban Bintang itu tidak sepenuhnya benar. Gadis itu menyambar setangkup roti di meja makan dan berpamitan kepada Oma. "Bintang berangkat ya, Oma."
"Bekalnya gimana?" tanya Oma.
"Gak usah. Nanti makan di kantin aja," jawab Bintang sambil mengikat tali sepatunya.
"Ya udah. Hati-hati, ya," pesan Oma. Ia mengantar cucunya itu sampai ke pintu.
Bintang berjalan kaki ke halte bus di persimpangan jalan. Sepanjang perjalanan, dia tidak henti-hentinya menatap ke atas. Suasana pagi yang tenang seperti ini jarang didapatkannya—kicauan burung yang terbang melintasi langit, matahari yang perlahan naik, sejuk angin pagi. Biasanya Bintang tidak menikmatinya karena terburu-buru mengejar bus.
"Hei."
Gadis itu mengalihkan pandangannya kepada seseorang yang baru saja menegurnya. Seulas senyum lantas terukir di wajahnya ketika matanya bertemu pandang dengan orang itu. "Dewa," sapanya.
Dewa balas tersenyum lebar, memperlihatkan cekung di pipi kirinya itu. "Tumben perginya pagi-pagi banget."
"Iya, nih." Bintang membalas sekenanya. "Lo juga, tumben pergi sendiri. Langit mana?" tanyanya kemudian karena biasanya Dewa selalu berangkat ke sekolah bersama Langit.
"Langit sakit."
"Oh?" Mata Bintang sedikit melebar mendengar jawaban itu. "Sakit apa?"
"Demam," jawab Dewa.
"Ternyata bisa sakit juga, ya," gumam Bintang lebih kepada dirinya sendiri.
Mendengar itu, Dewa tersenyum. "Iya, lah. Kan Langit manusia juga."
"Setengah setan," tambah Bintang main-main. Tapi dalam hati dia bertanya-tanya, mungkin Langit sakit karena berjalan kaki mengantarnya pulang kemarin malam?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Teen FictionMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...