12. Hancur

5.9K 701 16
                                    

Bel pulang berdentang, membuat sebagian besar murid menghembuskan nafas lega. Guru-guru mata pelajaran terakhir menutup pelajaran dan melenggang keluar kelas, diikuti murid-murid yang bergegas ingin pulang. Thalia masih menuntaskan catatannya ketika Pak Nas, guru mata pelajaran terakhir di kelasnya, beranjak keluar.

"Lo latihan?"

Thalia mendongak sebentar mendengar pertanyaan Nova—teman sebangkunya. "Iya," jawab Thalia, kembali menuliskan sederetan rumus Fisika di buku catatannya. "Lo juga, kan?"

"Iya," jawab Nova. "Bintang...?"

"Oh, iya." Thalia menepuk jidatnya pelan, lupa dengan temannya yang satu itu. Ia segera bangkit dari tempat duduknya. "Tunggu bentar, ya," ucap gadis itu sambil berlalu. Thalia melupakan segala urusan catat-mencatat yang sejak tadi ditekuninya.

Hanya karena Bintang.

Nova mengernyit. Ia bahkan belum sempat menyelesaikan pertanyaannya. Melihat Thalia mencegat Bintang saat gadis itu melintas, Nova segera menghampiri mereka.

"Gue ada latihan, Bintang," ujar Thalia pada Bintang. "Lo gimana?"

Bintang mengedikkan bahu singkat. "Ya pulang, lah."

"Sama siapa?"

"Sendirian," jawab Bintang acuh tak acuh. "Udah ya, Thal, gue bisa jaga diri gue sendiri. Males banget tau diperlakuin kayak anak kecil. Lagian, tiap pagi gue pergi sekolah sendirian dan gue baik-baik aja, kan?"

"Ya tapi kan, bisa aja kejadian kayak dulu terulang la—"

"Thalia, kekhawatiran lo udah kelewat batas," potong Bintang. "Setiap lo latihan, gue juga pulang sendiri kok. Udah biasa kali, Thal, kenapa lo masih berlebihan gini, sih?"

"Nggak, lo nggak pernah sendirian. Lo bareng sama kakak kelas, yang itu—siapa namanya?"

"Dewa?"

"Iya itu." Thalia menjentikkan jari. "Lo biasanya sama dia, kan? Nggak usah ngelak, Bintang. Gue tau."

"Udah, ah, gue mau pulang. Ngelantur gini ngomong sama lo." Bintang membalikkan badan seraya mengibaskan tangan. "Bye, Thalia."

"Eh! Hati-hati, ya!" teriak Thalia, karena Bintang sudah melangkah gegas menyusuri koridor. "Kalo udah nyampe, kabarin gue!"

"Bawel!" Bintang balas teriak, masih sambil melanjutkan langkah.

Thalia masih berdiri di ambang pintu kelas, menunggu sampai Bintang benar-benar luput dari pandangannya. Baru ketika Bintang sudah tidak terlihat, Thalia berbalik untuk menyelesaikan catatannya yang terbengkalai. Ia terlonjak kaget mendapati Nova berdiri di belakangnya. "Ngagetin aja lo." Begitu reaksi Thalia sambil mengelus dada.

"Gue heran sama lo, Thal," Nova yang sejak tadi bungkam, buka suara. "Lo jagain Bintang kayak dia anak kecil umur lima tahun yang bakal hilang kalo nggak dijagain."

Thalia tersenyum tipis.

"Kenapa, sih?" Nova bertanya. Ia menelengkan kepala, membuat untaian rambutnya ikut menjuntai ke samping. "Padahal kalo dilihat, Bintang lebih galak dari lo. Dia pasti lebih bisa jaga diri. Mungkin malah kalo sama lo, dia yang jagain lo, bukan sebaliknya."

Mendengar penuturan teman sebangkunya itu, Thalia tertawa. "Lo tau? Bintang itu mulutnya doang yang brengsek. Tapi aslinya nggak. Dia orangnya nggak tegaan, nggak pernah berani ngelawan."

Nova membelalak. "Serius?"

Thalia mengangguk. "Dulu, pernah ada senior yang nyakar dia pas kita lagi nunggu di halte bus. Kalo nggak ada gue, mungkin abis tuh anak," ceritanya. "Kejadian itu nggak pernah dia ceritain ke siapapun. Ke Oma-nya pun nggak. Dia kayak nganggap semua itu nggak pernah terjadi. Begitu juga dengan kejadian-kejadian yang lain."

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang