26. Rumah Pohon dan Tugas Akhir

5.5K 655 67
                                    

Alvian adalah saudara tiri Bintang. Mereka dulunya sangat akrab, hingga kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan yang menewaskan ayah Bintang dan ibu Alvian.

Sedikit banyaknya, itulah yang diceritakan oleh Bintang. Dewa kebanyakan diam, mendengarkan dengan seksama meskipun Bintang tidak menceritakan secara detail. Seperti saat Dewa bertanya apa yang membuat Alvian sebegitu bencinya pada Bintang, gadis itu hanya mengedikkan bahu dan memalingkan muka. Bintang berkata bahwa ia sudah tidak pernah lagi bertemu dengan Alvian setelah kecelakaan itu, sampai beberapa minggu lalu saat Alvian muncul di depan laboratorium Kimia secara tidak terduga.

"Lo beneran nggak tahu tempat ini?" tanya Bintang, mengalihkan pembicaraan.

Dewa menggeleng. "Gue jarang banget main ke halaman belakang. Nggak ada yang pernah ngajak juga."

Setelah bertemu dengan Alvian tadi, Bintang kebanyakan diam. Sampai ke halte bus, gadis itu belum mengeluarkan sepatah kata pun. Akhirnya Dewa berinisiatif untuk mengajak Bintang ke suatu tempat, kemana saja, agar bisa mendistraksi pikiran gadis itu.

Bintang setuju, lalu mereka kembali berjalan masuk ke sekolah, menuju rumah pohon tua yang terbuat dari kayu yang sekarang tengah menaungi mereka—rumah pohon tua yang tempo hari diperlihatkan Langit pada Bintang. Keduanya duduk di tepian, membiarkan kaki-kaki mereka menjuntai ke bawah. Bintang menggerak-gerakkan kakinya di udara, merasa senang, merasa bebas.

"Padahal gue tahu tempat ini dari Langit, loh," tanggap gadis itu. Kini matanya terpejam, menikmati angin sepoi-sepoi yang meniup lembut helaian rambut panjangnya yang terkulai melewati pelipis. "Adem ya, di sini."

Dewa mengernyit. "Masa?"

"Iya." Bintang menoleh, balas menatap Dewa bingung. "Lo nggak ngerasa?"

"Bukan, maksud gue, lo tahu tempat ini dari Langit?"

"Oh, itu." Pandangan Bintang berpaling dari Dewa dan kini tertuju ke depan. "Iya. Waktu MOS hari ke... keberapa, ya? Lupa. Pokoknya dia ngajak kesini."

Dewa mendengus lalu tertawa pelan. "Padahal masih banyak tempat-tempat penting yang lain di sekolah, tapi dia malah bawa lo kesini?"

Bintang mau tidak mau ikut tertawa. "Tau tuh. Kakak lo aneh," katanya. Dia mengingat-ingat hari di mana Langit membawanya ke rumah pohon tua itu. "Oh iya, waktu itu gue nemuin Dandelion di sekitar sini."

"Dandelion?"

Bintang mengangguk. "Bunga favorit gue ternyata namanya Dandelion. Gue udah tahu sekarang," jelasnya. Namun seketika Bintang teringat bahwa Dewa pernah memberikannya sebuket bunga Baby's Breath dan dia membenarkan bahwa bunga itu adalah bunga favoritnya. Gadis itu lantas memalingkan wajah. Stupid Bintang.

"Tapi yang waktu itu lo kasih di rumah sakit, Baby's Breath, itu juga favorit gue kok," tambah gadis itu sembari menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga, salah tingkah. "Favorit Oma juga. Katanya pilihan lo bagus."

Dewa hanya tersenyum lebar, memperlihatkan lesung di pipi kirinya yang sejak awal mereka bertemu selalu menjadi objek perhatian Bintang. Lesung pipit yang manis.

"Lo suka di sini?" tanya Bintang.

Dewa mengangguk mengiyakan. "Dingin. Tapi bukan dingin yang membunuh," candanya.

Mendengar itu, Bintang tertawa kecil hingga deretan gigi depannya terlihat semua. "Nggak kayak rooftop rumah sakit, ya? Yang bikin lo sampai nggak masuk sekolah seminggu."

"Lo masih inget aja," kata Dewa salah tingkah. Sebagian dirinya malu karena terkesan begitu lemah di hadapan Bintang namun sebagian yang lainnya bersyukur karena setidaknya gadis itu menaruh sedikit perhatian padanya.

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang