Dewa membolak-balik buku bersampul cokelat di pangkuannya. Buku dongeng Pinokio yang dipinjamnya di perpustakaan kemarin, atas taruhannya dengan Bintang. Mengingat kejadian itu, seulas senyum tercetak di bibirnya.
Dewa tahu ia tidak boleh terlalu cepat berharap, tapi kemarin, Bintang tidak menolaknya mentah-mentah. Baginya, hal itu merupakan respon yang positif dan sudah lebih dari yang diharapkannya.
Ciiit
Suara decitan pintu yang dibuka secara perlahan membuat Dewa menoleh. Dilihatnya Langit melongokkan kepala melalui celah pintu yang terbuka itu. "Belum tidur?" tanyanya.
Dewa menggeleng. "Kenapa?"
Langit membuka pintu lebih lebar dan melenggang masuk tanpa izin. Ia melompat ke sisi tempat tidur Dewa dan merebut buku yang berada di tangan adiknya itu. "Apaan nih?" Langit mengernyit heran. Dibolak-baliknya buku itu seperti yang dilakukan Dewa tadi. "Ngapain lo baca buku dongeng beginian?"
Dewa tersenyum simpul sembari mengedikkan bahu. "Iseng," jawabnya.
Langit mengamati buku tersebut sekali lagi, membuka-buka halamannya, lalu mendelik tajam ke arah Dewa. "Jujur lo."
"Iseng, serius." Tetap itu jawaban Dewa.
"Oh, ya?" tantang Langit lagi. "Terus ini apa?"
Langit mengacungkan secarik kertas putih kecil yang tadinya terselip di tengah-tengah buku. Isinya nomor telepon Bintang dan pesan yang ditulis oleh gadis itu agar menghubunginya begitu Dewa selesai membaca buku Pinokio tersebut.
"Jujur lo, Dewa," tuding Langit lagi, tampak benar-benar penasaran. Melihat itu, Dewa tertawa puas. Mengerjai Langit adalah hal yang sangat langka baginya dan ketika kesempatan itu datang, Dewa jelas tidak ingin melewatkannya.
"Kepo," tandas Dewa seraya menimpuk Langit dengan bantal. Tidak mau kalah, Langit juga balas melempar bantal yang lain ke arah Dewa.
Sekejap, kamar Dewa berubah menjadi kapal pecah akibat perang bantal.
Buk!
Langit terjatuh dari tempat tidur karena terkena timpukan bantal. Dewa tertawa keras melihatnya, hingga akhirnya—buk!—ikut terjungkal ke lantai.
"Langit! Dewa! Kalian kenapa?!" teriak ibu mereka dari lantai bawah, terdengar khawatir dengan keduanya. Suara parau ibu mereka itu menandakan bahwa keributan yang mereka buat membangunkan beliau.
"Nggak papa, Ma! Ini Dewa ngigau!" Langit berteriak, menjawab ibunya.
"Langit ngompol, Ma!" Dewa ikut berteriak.
Sementara di lantai bawah, ibunya hanya geleng-geleng kepala, lalu kembali mematikan lampu dan berderap masuk ke kamar. "Kalian tidurnya jangan kemaleman, besok sekolah!" teriaknya lagi yang dijawab serempak oleh keduanya dengan, "Oke, Ma!"
"Kasih tau gue tentang ini," kata Langit lagi, setelah suara ibu mereka tidak terdengar lagi. Ia mengacungkan buku Pinokio di tangan kanannya—"Dan ini,"—serta secarik kertas putih di tangan kirinya.
"Oke, oke," Dewa menghela napas, mengalah. "Gue sama Bintang lagi taruhan."
Langit menaikkan sebelah alisnya. "Taruhan?"
Dewa mengangguk. "Jadi kalau dia menang, jatah permintaan gue dibatalin—karena dulu kita pernah taruhan juga dan dia kalah," jelasnya.
"Terus kalau lo yang menang?"
"Bintang jadi pacar gue," jawab Dewa.
Mendengar jawaban itu, alis Langit bertaut. "Lo nggak serius, kan?"
![](https://img.wattpad.com/cover/30000757-288-k443847.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Roman pour AdolescentsMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...