Bintang membuka lokernya pagi ini dan menemukan Dandelion yang keenam miliknya teronggok disana. Gadis itu menghela nafas, lalu memandang bunga-bunga liar itu. Kalau saja yang diterimanya adalah Mawar hitam dan bergumpal-gumpal sampah, ia tidak akan berpikir dua kali untuk membuangnya. Tapi ini berbeda. Sudah dua minggu belakangan ini Bintang bingung mau ia apakan bunga-bunga Dandelion miliknya itu, sampai akhirnya ia membiarkannya menumpuk dan membusuk di loker.
Tiba-tiba Bintang merindukan Mawar hitam dan sampah-sampah lainnya yang biasa menghiasi lokernya pagi-pagi.
Gadis itu akhirnya meraup beberapa tangkai Dandelion yang telah layu dan membuangnya. Ia lalu mengambil bukunya dan berderap pergi ke kelas, tanpa menyadari sepasang mata sedari tadi mengekori gerak-geriknya.
***
Tidak ada yang spesial hari ini.
Bintang melewati harinya dengan normal; Belajar, istirahat, ngobrol dengan Mita, belajar lagi, makan siang, belajar, lalu pulang. Hari ini biasa saja. Datar.
"Dah, Thalia," pamit Bintang, ketika bus yang mereka tumpangi telah sampai di halte pemberhentian tujuannya. Thalia melambaikan tangannya sambil menggumamkan hati-hati. Bintang mengangguk singkat.
Gadis itu melangkah ringan menuju rumahnya. Ketika dilihatnya toko bunga kosong, keningnya mengernyit. Tidak ada aktivitas yang terlihat di balik dinding-dinding kaca ruangan itu. Kemana semua orang?, tanyanya. Ia melongokkan kepala ke dalam toko bunga. "Oma? Mbak Indah?" panggil Bintang, namun tidak menuai jawaban.
Ia berderap ke rumah dan mendapati sesuatu yang ganjil. Pintu depan tidak tertutup. Oma biasanya sangat teliti, dan tidak melakukan kesalahan-kesalahan kecil seperti lupa menutup pintu. Firasat gadis itu seketika tidak enak.
"Oma?" panggilnya dengan suara lebih keras. "Oma dimana?"
"Bintang!" Bintang menoleh, dan mendapati Mbak Indah--pegawai toko bunga, berlari dari arah dapur. "Oma, Bintang--" Wanita berusia sekisar dua puluhan itu tergugu.
"Oma kenapa?" tanya Bintang. Tanpa menunggu jawaban dari Mbak Indah, ia melengos ke dapur dan menemukan neneknya. Wanita tua itu tengah terbaring di lantai dengan wajah pucat.
"OMA?!" pekik Bintang. Ia berjongkok, mengangkat kepala Oma ke pangkuannya. Gadis itu menggoyang-goyangkan bahu neneknya. "Oma, bangun," ucapnya berulang-ulang. Setelah beberapa saat tidak menerima jawaban, Bintang berhenti.
Ia terisak saat itu juga.
"Oma...," lirihnya. Bintang meraih sebelah tangan Oma yang terkulai lemas di sisinya. Merasakan tangan keriput itu masih hangat, secercah harapan timbul di benak Bintang. Ia segera menghapus dengan punggung tangannya. "Panggil ambulans, Mbak!" serunya.
Mbak Indah menurut. Tidak berapa lama kemudian, ambulans datang dan membawa Oma dan Bintang ke rumah sakit terdekat. Mbak Indah tidak ikut, karena Bintang memintanya untuk menjaga rumah.
Bintang menunggu dengan gelisah di depan ruang Unit Gawat Darurat. Ia tidak dapat duduk dengan tenang. Air matanya tertahan di kelopak mata. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, dalam hati merapalkan doa agar neneknya baik-baik saja.
Kalo nggak ada Oma, Bintang harus bagaimana?
Segera ia tepis pikiran buruknya jauh-jauh. Jangan ngaco deh, Bintang. Semua bakal baik-baik aja.
Bintang segera bangkit menyambut dokter yang baru saja keluar dari ruangan tempat Oma berada. Dokter pria itu tersenyum cerah, membuat beban yang tadi dipikul di pundaknya kini terangkat sebagian. Ia menghampiri Bintang dengan langkah perlahan.
"Oma gimana, Dok?" tanya Bintang, sedikit was-was.
"Oma kamu nggak papa," jawab dokter itu. "Tekanan darahnya drop. Makanya tadi pingsan. Pasien mengalami dehidrasi yang membuat tekanan darahnya menurun drastis," katanya sembari menepuk pundak Bintang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang
Teen FictionMasa kecil yang bahagia hanya isapan jempol untuk Bintang, sebab di hidupnya, masa itu diisi dengan perselisihan kedua orang tuanya-ibu yang berteriak marah, ayah yang ringan tangan, sumpah serapah, piring pecah, pintu yang dibanting kasar, ayah yan...